"Kamboja,"
Adam menatap Kamboja. Ada yang aneh dari wajahnya. Bahkan sedari tadi di panggil pun Kamboja tak menoleh. Lalu ia membawa tangan besarnya dan menggenggam tangan kecil Kamboja.
Kamboja tersentak. Ia menoleh. Netranya bertemu dengan manik hitam kelam di depannya. Lalu maniknya bergulir ke bawah. Tepat menatap ke arah dua tangan yang saling tertaut. Kamboja refleks melepaskan tangannya dari genggaman Adam.
"A-aku ga-pa-pa. Ah eng.. aku ke kelas dulu."
Kamboja beranjak. Lalu dengan langkah yang tergesa ia meninggalkan ruangan yang di penuhi buku itu. Adam tergelak. Terkekeh melihat kelakuan Kamboja yang gugup jika di sentuh tangannya.
"Dia lucu sekali."
Kamboja melangkah dengan cepat ke arah kelasnya. Melewati koridor yang lengang lalu berbelok hingga ia menemukan kelas di ujung lorong. Kelas yang terlihat sepi. Ah ia sepertinya terlambat. Sudah ada guru di dalam. Langkahnya semakin tergesa. Lalu seseorang menubruk seseorang.
Kamboja meringis ketika punggungnya bertabrakan dengan lantai. Buku yang di bawa wanita itu pun berceceran. Kamboja segera berdiri dan membantu memunguti buku-buku yang tadi di bawa wanita itu.
"M-ma-maaf."
Maka saat setelah ia selesai memungut buku. Sebuah map bersampul merah memusatkan atensinya. Map itu berbeda dari buku lainnya jelas Kamboja melihat itu. Tulisan tinta ketikan yang tercetak jelas di lembaran pertama map yang terbungkus sampul bening.
Sang wanita segera mengambil alih buku tersebut. Lalu memandang Kamboja dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia melangkah pergi meninggalkan Kamboja yang masih termenung.
"Surat kepemilikan SMA Bakti," bathin Kamboja
Lalu tangannya mengepal erat. Tubuhnya menjadi terasa terbakar. Emosi yang meluap membuat matanya menyalang. Kamboja tak mengerti dengan keadaan ini. Tapi instingnya berkata agar ia harus 'membersihkan' orang itu.
***
Adam masih pura-pura memperhatikan seorang pria yang setia berdiri di depan kelas. Menggoreskan tinta seakan membuat kotor papan putih yang bertengger indah di depannya. Adam hanya memandang lurus. Ia benar tak memperhatikan ucapan gurunya yang tak henti-hentinya menjelaskan sebuah rumus. Hatinya kalut. Pikirannya terganggu oleh seseorang yang baru-baru ini mengisi hari-harinya. Ia merasa harus menemuinya pulang sekolah nanti.
Adam menoleh ke benda kaca di samping kirinya. Awan berderet-deret mulai membawa kelabu di atas gedung sekolah. Tiba-tiba udara juga menjadi dingin. Bahkan pria yang masih berdiri di depan itu menyomot remot air-conditioner di ruangan itu lalu menekan tombol merah paling kanan. Tapi hal itu seakan sama saja tak mengurangi rasa dingin yang ada.
Gemuruh mulai terdengar. Rintik berjatuhan menghujam tanah. Suaranya semakin membuat pikiran Adam gusar.
Sebenarnya ia menyukai hujan. Namun entah mengapa hujan kali ini menghantarkan firasat buruk untuknya.
Menggosok-gosokan telapak tangan berharap bisa menghantarkan kehangatan. Adam mendongak masih menatap langit yang seperti ingin mengucapkan sesuatu dengan kilatnya. Semoga tak terjadi sesuatu. Hanya itu harapan yang ia sebut dalam hati.
"Kenapa harus hujan?"
"Kenapa Dam?" Pria bertubuh gempal di sampingnya menoleh. Menatap Adam dengan alis yang terangkat sebelah.