Am I a Monster?

sintia indrawati
Chapter #18

Perjodohan?

Reyna menyorot datar benda elektronik persegi pipih di depannya. Ia tak bergeming sedikitpun ketika muncul sebuah berita pembunuhan yang baru saja terjadi. Pandangannya seperti mengisyaratkan ketakpedulian pada benda yang masih mengeluarkan gambar dan suara itu. Dingin dan datar masih menghiasi wajahnya. Bahkan tak ada segaris senyum atau sedih dari bibirnya. 

Reyna lalu mengambil remot tv tersebut dan menekan tombol merah di kanan atas. Benda pipih itu berhenti menampilkan gambar membuat semua warnanya menjadi gelap. Reyna berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Rumah yang terbilang mewah itu di hiasi bingkai-bingkai foto di setiap pijakan anak tangga. Seakan bisa mengenang satu-persatu kenangan di foto itu. Namun pandangan Reyna meluruh ke depan tanpa mempedulikan foto-foto yang seakan berteriak ingin di lihat olehnya.

Reyna mendaratkan tungkainya di ruangan persegi yang cukup luas. Melangkah menuju balkon rumahnya. Mendaratkan lengannya pada besi penyangga. Netranya menyoroti jalanan kota yang masih cukup ramai. Lalu menyapu pandang pada bintang yang enggan berkelip. Bersembunyi pada setiap awan yang bergerumul di atasnya. Lalu pandangannya terfokus pada seseorang yang baru saja memarkirkan motor sport nya di sebuah rumah. Netra Reyna masih menelisik sampai bayangannya di telan pintu bercorak putih milik sang empunya rumah.

Reyna mendecih "cih, dia terlalu lama mengulur waktu."

Lalu tungkainya berjalan memasuki kamarnya lagi.

***

"Hari ini capek sekali." Adam tersenyum lalu merebahkan tubuhnya di kasur king size miliknya. 

Adam memandang langit-langit kamarnya. Wajah dan senyum itu masih terbayang di kepalanya. Adam diam-diam ikut tersenyum membayangkan harinya bersama Kamboja. Baru saja ekspresinya tersenyum wajahnya langsung datar seketika. Ia mengingat sesuatu. Sesuatu yang ia lupakan bahwa ia sedang bertugas.

Ya, Adam bekerja sebagai badan inteligen negara. Perawakan dan wajahnya yang imut membuatnya tak terlihat sebagai intel. Ia bahkan terlihat sebagai bocah ingusan yang masih SMA. Padahal umurnya sudah menginjak 25 tahun. Cukup muda untuk seorang badan inteligen seperti Adam. Otaknya yang jenius membuatnya menempuh pendidikan dengan cepat. Apalagi ia bahkan sudah menyelesaikan beratus-ratus kasus.

Walau begitu ia merasa kesepian. Apalagi kedua orang tuanya yang sebagai seorang pembisnis itu bahkan jarang sekali menginjakan kakinya di rumah ini. Akhirnya Adam yang sebagai anak tunggal itu selalu merasa kesepian tinggal di rumah yang sebesar ini.

Adam memejamkan mata berharap bisa menghilangkan rasa penatnya sejenak. Lalu bangkit ketika ponselnya bergetar secara tiba-tiba. Adam meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Ia membuka pesan tersebut lalu mengernyit. Ia menghela nafas gusar. Memijat pelipisnya yang mulai terasa pening. Oksigen di sekitarnya juga terasa semakin berkurang. Entah pesan apa yang membuatnya merasa gusar.

Lihat selengkapnya