Am I a Monster?

sintia indrawati
Chapter #26

Koma

Kamboja masih meringkuk. Tubuhnya di balut oleh selimut setinggi lehernya. Pandangannya kosong. Di kepalanya masih terbayang-bayang peristiwa tadi pagi. Padahal ini sudah malam tapi ia tak beranjak sedikitpun dari ranjangnya setelah terakhir dokter Jio memapahnya tadi.

Ah dokter Jio bahkan menemaninya hingga sore hari. Piring yang berisi makanan di nakas tempat tidurnya pun belum tersentuh sama sekali. Katakan Kamboja tak tau diri padahal makanan ini adalah hasil masakan dokternya itu. Harusnya Kamboja menghargai jasa dokter Jio yang rela mengganti jas putih kebesarannya dengan apron miliknya yang kotor.

Kamboja melirik jam yang bertengger di dindingnya. Jarum pendeknya menunjukkan pukul sembilan malam. Namun netranya enggan memejam. Tubuh yang sedari tadi di tutupi selimut itu pun terasa bergetar. Pikiran itu terus menghantui Kamboja. Matanya kini berubah menjadi nyalang dengan bekas air mata yang sudah kering di kedua belah pipinya.

Kamboja bergumam. Tubuhnya semakin bergetar. Ada aura gelap yang sudah memasuki tubuhnya. Kamboja lalu bangkit. Berjalan menuju dapur dengan langkah perlahan. Ia mengambil sebilah benda runcing yang mengkilap jika terkena bias cahaya. Lalu kembali ke kamarnya. Memakai hoddie dan mengambil sarung tangan. Kali ini ia juga memakai masker untuk menutupi wajahnya.

Dengan langkah pasti Kamboja berjalan keluar rumahnya. Entah apa yang merasukinya untuk keluar di malam yang sudah menuju larut itu. Bibir yang sudah tertutupi masker pun masih bergumam. Bergerak-gerak dengan kata-kata yang tak jelas. 

***

"Reyna, kau belum tidur nak?" 

Suara tegas itu mengalihkan atensinya dari pemandangan balkon kamarnya. Reyna menoleh, menatap pria paruh baya masih dengan balutan baju kebesaran yang melekat pada dirinya. Dapat dilihat ayahnya itu baru pulang dari kerja.

"Baru pulang pa?"

Sang pria paruh baya mendekat lalu mengelus puncak kepala anaknya. Tersenyum lebar memandangi wajah gadisnya. "Iya, papa baru pulang.. jangan tidur larut-larut ya. Papa akan mandi dulu."

Reyna mengangguk. Lalu menatap ayahnya dengan pandangan datar seperti biasanya. "Pa, Reyna izin keluar."

Ekspresi ayah Reyna langsung berubah seketika. Ujung alisnya hampir menyatu "kemana? Ini sudah malam."

"Reyna mau membeli sesuatu pa, ini mendesak. Urusan perempuan."

"Yasudah, bagaimana jika di antar pak Karim?"

Reyna menggeleng kukuh masih tetap memasang wajah dingin andalannya. "Tidak, itu...merepotkan. Lagipula aku bisa jaga diriku sendiri. Hanya di toko dekat sana."

Pak Bagus lalu mengangguk. Reyna melangkah pergi meninggalkan ayahnya setelah menyambar coat berwarna coklat miliknya. Sebenarnya ayahnya itu khawatir. Namun, Reyna-putrinya itu memang tak suka di manja.

Butuh waktu lima belas menit Reyna berjalan kaki untuk sampai di sebuah supermarket. Pengunjung yang datang pun tidak banyak karena memang ini sudah pukul sepuluh malam. Reyna sebenarnya malas untuk berjalan kaki sampai sini. Namun ini memang harus ia lakukan karena kebutuhan mendesaknya. Salahkan masa haidnya yang tak teratur sehingga ia lupa untuk menyiapkan 'kebutuhan mendesaknya' itu.

Setelah mendapatkan barang yang ia butuhkan Reyna pun bergegas pulang. Memasukan satu tangannya ke saku coat nya, tangan yang lain sibuk menenteng tas belanjaannya.

Lihat selengkapnya