"Aku mau pulang dok.."
Jio menoleh. Menatap lurus manik hitam pekat yang kini menatapnya dengan penuh harap. Lalu menghela nafas pelan. "Kau belum sembuh.. besok baru kau boleh pulang."
Kamboja mengernyit. Wajahnya tertekuk." Tidak dok aku sudah baik-baik saja. Aku ingin pulang."
Wajah yang memelas itu membuat hati Jio mencair seketika. Ia mengusap puncak kepala Kamboja dengan lembut. "Oke kau boleh pulang. Tapi harus istirahat yang cukup ya."
Kamboja tersenyum lalu mengangguk dengan semangat. Kamboja beranjak dari bangkarnya dan merapikan barang-barangnya. "Tunggu sebentar disini ya." Jio meninggalkan Kamboja di ruang serba putih itu.
Kamboja tersenyum senang. Ia muak berlama-lama di ruang beraroma obat yang menusuk. Membuatnya mual dan bertambah pening. Tubuhnya memang masih lemas tapi apa boleh buat jika ia terus-menerus berada disini maka biaya hidupnya akan membengkak. Dan dapat di pastikan ia akan hidup menjadi gembel di jalanan. Ah Kamboja tak mau. Lebih baik ia menahan sakit daripada harus menjadi gembel.
Lalu selang sepuluh menit Jio kembali dengan sebuah paper bag di tangannya. Jio tersenyum dan menyodorkan benda itu kepada Kamboja.
"Ini anggap saja sebuah kenang-kenangan."
Alis Kamboja terangkat. Ia masih terdiam. Mengedipkan kelopaknya berkali-kali membuat Jio terkekeh gemas lalu menarik tangan kecil itu untuk mengambil paper bag pemberiannya.
"dibuka dirumah saja ya.."
"Ah um.. terimakasih dokter Jio."
"Sama-sama."
Kamboja lalu melangkah keluar meninggalkan pria itu di dalam ruangan. Jio menatap punggung ringkih itu sampai hilang di telan daun pintu bercorak putih. Ada rasa khawatir yang terbesit dalam hatinya. Seperti.. ada suatu hal yang akan hilang? Entahlah Jio pun tak paham akan perasaannya saat itu.
"Hmm.. apa ini sudah saatnya?"
***
Langkah Kamboja mulai cepat ketika gerimis mulai memaksa mengahantamnya siang itu. Kamboja merutuki dirinya ketika ia mengingat dokter Jio yang memaksa dirinya agar mau membawa payung namun di tolak terang-terangan. Kamboja pikir hujan tak datang secepat itu nyatanya baru seperempat perjalanan menuju rumahnya hujan mengguyur membasahi hoddie nya.
Kamboja lalu berteduh ketika rintik berubah menjadi deras dengan petir yang menggelegar. Merapatkan tubuhnya di bawah canopy sebuah emperan pertokoan yang tutup. Kamboja menghela nafas. Mendongak mengamati langit kelabu yang masih saja tak henti-hentinya menangis.
Dingin mulai menusuk. Aroma tanah basah memenuhi indera penciumannya. Namun Kamboja menyukainya. Baginya aroma hujan itu menenangkan. Netranya mengamati orang-orang yang tertawa bersama di dalam sebuah cafe. Ada juga yang sedang tertawa kegirangan di tengah hujan bersama teman-temannya. Kamboja tersenyum tipis. Mungkin ia akan merasa sangat bahagia bila merasakan hal itu.
Lalu wajahnya berubah sendu ketika ia mengingat tempo lalu sebelum ia di rawat di rumah sakit. Bayangan Felix memenuhi pikirannya. Kamboja tak menampik bahwa Felix memang sebenci itu dengannya. Sepertinya Felix terlalu terpukul dengan kematian kekasihnya--Vivi. Namun yang menjadi pikiran Kamboja saat ini adalah mengapa Felix mengatakan bahwa Kamboja pembunuh? Bukannya mereka yang ingin membunuh Kamboja dengan cara menyekapnya. Entahlah. Kamboja memang sering di anggap pembunuh oleh orang-orang di sekelilingnya. Kadang itu membuat Kamboja sangat tertekan hingga ingin mengakhiri hidupnya.
Kamboja berjengit ketika ponselnya mulai bergetar. Meraih lalu membaca sebuah pesan yang tertera di layarnya. Kamboja tersenyum. Setidaknya, pesan ini membuat perasaannya melunak sebentar. Kamboja bisa merasakan sebuah kasih sayang dari seorang teman.
Yeah setidaknya Kamboja masih memilikinya.
***