Am I a Monster?

sintia indrawati
Chapter #31

Benci dan Rindu

"Daripada siksaan fisik yang bertubi-tubi, siksaan mental lebih dari membunuh jiwanya.."

-Jio Reynald-

Bulir air matanya masih saja mengalir deras dipipinya. Entah sudah berapa banyak bulir yang ia keluarkan. Tapi memang sepertinya bulir itu belum ada habisnya. Walau matanya sudah memerah dan bengkak. Namun, Kamboja masih setia merangkai kata dalam goresan penanya. Meski sesekali ia menghapus bulir itu dengan kasar. Karena bulirnya memang cukup mengganggu. Membuat buram pandangannya terhadap kertas putih yang kini penuh dengan coretan itu.

Ctak!

Akhirnya ia merampungkan tulisannya. Menutup buku itu lalu menyimpannya di pojok ruangan kosong. Tak ada apapun selain buku dan pena. Kamboja bahkan hampir mati kebosanan dengan aktivitas yang ia lakukan. Hanya menulis. Menulis. Dan menulis. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Entah sudah berapa lama Kamboja di kurung disini. Sepertinya jika di hitung-hitung ini sudah lebih dari tiga bulan. 

Kamboja bahkan selalu menangis karena mengingat segala hal masa lalunya. Ia sengaja sebenarnya mengingat semua kejadian yang bisa ia ingat lalu menuangkan dalam buku tersebut. Ia hanya ingin--mengenangnya sebelum ia mati. Yeah, Kamboja hanya tinggal menunggu di hukum mati. 

Netranya menelusuri ruangan kosong yang hanya ada satu pintu besi di sudut kiri. Pengap. Kamboja bahkan tak tau ini hari apa. Jam berapa. Karena baginya setiap waktu adalah sama. Tak ada sinar matahari yang masuk dari ruangan yang hampa dan pengap itu. Lagipula ia tak pernah keluar dari ruangan kosong itu.

Kamboja lalu membaringkan tubuhnya di atas selembar kardus yang menjadi alas untuk tidur. Dingin menusuk ke dalam kulitnya hingga ke tulang. Tubuhnya seakan remuk. Namun yeah, ini belum seberapa dari hal yang sudah ia lakukan selama ini. Meski sudah berusaha keras untuk mengingatnya. Kamboja tak mengingatnya sama sekali. Namun yang ia dengar, ia adalah seorang pembunuh.

Yeah pembunuh.

Pernyataan itu membuat hatinya sesak. Kepalanya juga sakit karena memang di paksa untuk mengingat hal yang bahkan--ia merasa tak pernah melakukan hal itu. Kadang Kamboja dengan sengaja membenturkan kepalanya di dinding. Hingga cairan merah itu mengering dengan sendirinya. Namun tetap sama, dia tak bisa mengingatnya. Ia hanya mengingat sepotong--kilasan sebuah memory pembunuhan tanpa tau pelakunya.

Kamboja mencoba memejamkan mata kuyu nya itu. Walau sebenarnya ia enggan terpejam--lebih seperti susah terpejam hingga kantung mata hitamnya itu terlihat sangat jelas dengan mata yang bengkak. Ia meratapi nasibnya. Kini ia sendiri. Tak ada lagi orang yang menyayanginya. Bahkan mereka semua ingin Kamboja segera mati. Isakan lirih mulai keluar dari bibirnya meskipun tanpa membuka matanya.

"Aku akan selalu ada di sampingmu.. jangan merasa sendiri.."

Setidaknya kata-kata yang di lontarkan dokter Jio tadi bisa membuatnya sedikit tersenyum. Ya benar, masih ada dokter Jio yang selalu mendukungnya. Lalu semenit kemudian pikiran itu buyar karena suara gesekan besi yang membuat pintu ruangannya bergerak.

KREEEK

KLAAAANGG

DDDDRRRRRKKKK

Pintu besi itu terbuka menampilkan seorang petugas dengan sebuah nampan dan air putih di tangannya. Pria bermuka datar itu mendekati Kamboja. Kamboja lalu bangkit dari tidurnya. "Makan siangmu. Jangan lupa meminum obat."

Kamboja mengangguk lesu. Lalu pintu besi itu kembali tertutup rapat. Kamboja menatap nampan berisi nasi dan sayur di depannya dengan segelas air putih dan dua pil obat. Kamboja lalu meraih sendok dan mulai memasukan makanan ke dalam mulutnya.

Hambar. Tak ada rasanya. Terkadang Kamboja berpikir atau mungkin lidahnya yang sudah mati rasa hingga tak bisa merasakan makanan lagi? Atau memang makanan di penjara itu tak seenak ini. Ah ia jadi membayangkan ayahnya yang bertahun-tahun mendekam disini. 

Lihat selengkapnya