"Tiddiit.." suara klakson motor Jiddan menghentikan kegiatan membaca Ghisa yang memang tengah menunggu di kursi teras rumahnya.
Kebetulan rumah Ghisa merupakan jalur keberangkatan Jiddan menuju ke sekolah, jadi Jiddan sendiri yang menawarkan langganan tumpangan gratis untuk Ghisa yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya itu.
Setiba di sekolah, seperti biasa desas-desus para siswi tentang kedekatan mereka terdengar di sepanjang lorong menuju kelas. Walau demikian Jiddan selalu meyakinkan Ghisa untuk tetap santai dengan tidak menanggapi mereka. Bagaimana tidak, Jiddan adalah sosok siswa populer yang terkenal tampan, cerdas dan aktif di kegiatan organisasi siswa. Walaupun sebenarnya kecerdasannya selalu berada satu peringkat di bawah Ghisa.
Sedangkan Ghisa adalah sosok introver yang selalu menundukkan pandangan, terkenal tidak mempunyai teman dan dianggap aneh karena sikapnya yang terlalu tertutup dan seolah tidak bersahabat. Bahkan ada beberapa murid yang terang-terangan mengganggap Ghisa sombong karena kecerdasan yang dimilikinya. Maka tidak heran kedekatakan mereka menimbulkan banyak kecemburuan di kalangan para siswi yang merasa Ghisa tidak pantas bersanding dengan Jiddan.
***
Menjelang hari pertama di kelas sebelas, Ghisa hampir saja putus asa dan ingin pindah sekolah. Sebab ketika di kelas sepuluh ia tidak mempunyai teman satu pun. Jam yang paling tidak Ghisa suka adalah jam istirahat. Karena saat itulah ia akan kebingungan lontang-lantung sendiri. Ia hanya merasakan punya banyak teman ketika ada jam pelajaran sulit atau tugas kelompok. Setelahnya para murid yang seolah sok akrab itu kembali menjadi asing. Sebenarnya ia nyaman dengan kesendiriannya, namun ia tidak suka menerima tatapan aneh dari murid lain yang seolah penuh iba namun dengan bisik mengejek.