Seperti rutinitasku sehari-hari di sinilah aku sekarang, di perpustakaan umum tempat aku bekerja. Aku bekerja menjaga perpustakaan dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Pekerjaan yang mudah memang, tak banyak yang harus kukerjakan, hanya menunggu di bangku kayu yang sedang kududuki sekarang ini, melayani mereka yang ingin menyewa atau sekedar hanya bertanya-tanya tetang buku tertentu. Sesekali aku juga mengecek ketersediaan buku di sepanjang koridor rak.
Jika kalian bertanya kenapa aku mau bekerja di tempat yang membosankan seperti ini, jawabanku karena aku suka membaca. Ya, alasan yang sangat sederhana memang. Selain bekerja di sini aku juga seorang novelis. Itu mungkin alasanku yang lain mengapa aku mau bekerja menjadi penjaga perpustakaan, banyak informasi yang dapat ku peroleh dengan gratis di sini. Namun dari berbagai alasan yang kumiliki, ada satu yang menjadi alasan utamaku, yaitu Gio. Lagi-lagi dia. Letak perpustakaan ini dekat dengan café tempat ia bekerja. Kami selalu berangkat dan pulang bersama. Itu alasan utamaku mengapa aku memilih tempat ini sebagai tempat bekerjaku. Tapi itu terjadi dulu. Dulu sebelum dia mengenal Aurel, sebelum dia sedekat ini dengannya. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu bersama. Dia lebih suka menghabiskan waktu bersama Aurel sekarang.
"Permisi mbak, bukunya" seseorang menyodorkan buku ke hadapanku. Aku terkejut dengan siapa seseorang di hadapanku sekarang. Ternyata orang yang baru beberapa detik lalu ada dalam pikiranku.
"Gio...tumben kamu ke sini? Gak kerja?" aku menerima buku dari tangannya. Dia kemudian mengambil duduk di depanku. Memberikan senyum manisnya padaku.
"Lagi off hari ini. Bingung mau ngapain di rumah, jadi kenapa gak aku ke sini?"
"Gak keluar sama Aurel? Kayaknya hari ini dia libur juga"
"Dia gak bisa diganggu. Mau fokus ke resep baru katanya. Kenapa? Aku ganggu kamu ya?"
"Ah...gak kok. Santai aja"
"Syukur deh. Habis ini kamu ada acara gak?" Gio melipat kedua lengannya sebagai tumpuan di meja, wajahnya mendekat ke arahku.
Deg.
Aish, kenapa jantung ini selalu bereaksi berlebihan seperti ini? Dia terus bergetar selama Gio memandangku. Tatapan matanya seakan membiusku, membuatku enggan melewatkan wajahnya di hadapanku. Seharusnya aku menjawab pertanyaan Gio namun yang kulakukan hanya memandangnya.
"Hei, kok malah bengong?" Gio mengacak poniku asal.
Deg... Deg... Deg...
Hatiku berdesir ketika dia mengusap poniku seperti itu. Seharusnya aku tidak boleh seperti ini. Hanya berada di dekatnya dan menerima sentuhan singkatnya membuatku merasa begitu nyaman. Ingat dia milik Aurel, sahabatmu! Aurel sangat menyukainya. Kau tidak boleh seperti ini. Segera ku beranjak dari dudukku, menghindari tangannya. Berpura-pura membereskan tumpukan buku yang ada di atas meja.
"Em...maaf, gak ada acara kok. Emangnya kenapa?" jawabku terbata-bata.
"Ikut aku ke suatu tempat. Ada tempat yang mau aku kunjungi sama kamu" lagi-lagi dia pamerkan senyum manisnya.
"Kemana?"
"Nanti juga kamu tahu. Ayo dong please... udah lama kita gak jalan bareng" Gio memohon.
"Oke deh, ayo. Sebentar aku mau ijin pulang dulu" ucapku setelah melirik jam tanganku, memang sudah hapir jam pulang, kemudian aku beranjak menghampiri Kak Silla, pemilik perpustakaan ini. Setelah berpamitan, aku menghampiri Gio lagi,dia beranjak dari tempat duduknya.
"Let's go!!" dia merangkulku dengan lengan kokohnya, menggiringku keluar dari perpustakaan.
Deg.
Deg.
Deg.
================================***==============================
AMADO.
"Ah...aaa...aahhh..." Adonis masih pada posisi sebelumnya, dia masih berputar-putar seperti ada pusaran yang sedang menghisapnya. "Apa kau bisa berhenti membuatku berputar seperti ini? Ini sungguh tidak nyaman. Sebenarnya apa yang kau lakukan padaku?"
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau akan ku kirim ke bumi sebagai hukuman" suara berat yang sebelumnya terdengar kembali.
"Apa? Bumi? Hei, ayolah ku...ku kira kau hanya ber...bercanda"
"Aku tidak pernah bercanda dalam memberi hukuman"
"Ah, ayolah. Jangan terlalu emosi seperti itu. Ini masih bisa dibicarakan. Kita bisa bicara baik-baik" Adonis mencoba bernegosiasi.
"Hah! Sudahlah! Jangan banyak bicara. Permintaan maafmu sudah terlambat. Kini yang bisa kau lakukan hanya menerima hukuman dariku!"
"Baik, baiklah! Terserah kau saja! Segera kirim aku ke bumi. Cepat jatuhkan aku ke sana, agar semua ini cepat selesai. Aish!!"
"Tentu saja aku akan segera mengirimmu. Ingat selama berada di bumi kau juga akan menjadi manusia biasa, bukan lagi dewa. Kau akan hidup seperti manusia normal lainnya. Tidak ada kekuatan. Kekuatanmu akan kucabut selama masa hukumanmu. Kau bisa mendapatkannya kembali jika kau berhasil menjalankan misimu"
Syiungggg~~~
Bruagkkk!
Adonis benar-benar dijatuhkan ke bumi.
"Awh!"
===============================***===============================
BUMI.
"Kenapa kamu mengajakku ke tempat ini?" tanyaku setelah kami sampai di tempat yang ia katakan.
Tak kusangka Gio mengajakku ke bukit ini. Bukit ini terletak di belakang café tempatnya bekerja. Dulu dia selalu mengajakku ke tempat ini sepulang kami bekerja. Ini sudah lama sekali. Sebenarnya aku suka tempat ini, tak banyak orang berada di bukit ini apalagi sore hari seperti ini. Hanya ada pohon bersiul tertiup angin dan ilalang yang tumbuh liar yang tambah mempercantik pemandangan di sore hari.
"Aku kangen tempat ini. Sudah lama kan kita gak ke tempat ini?" Gio duduk di rumput menghadap pemandangan kota di sore hari. Kami dapat melihat café dari atas sini, juga matahari yang sudah mulai berubah jingga, ingin menghilang di balik bukit yang lain.
Ternyata Gio juga merindukan tempat ini? Akupun ikut duduk di sebelahnya menikmati pemandangan dan hembusan angin.
"Kamu lupa tempat ini?" Gio menoleh ke arahku.
"Ah, tidak. Aku ingat kok" jawabku. Mana bisa aku melupakannya? Tempat ini tempat favoritku.
"Kau ingat? Dulu kau selalu duduk di bawah pohon itu dengan buku-buku tebalmu" Gio menunjuk ke arah pohon besar di sebelah kami.
"Ya, aku ingat. Dan kau selalu menggangguku dengan suara bisingmu itu!"
"Haha. Tapi kau satu-satunya orang yang mau dan setia mendengarkan suara bising ini"
Ya Gio, bahkan hingga saat ini. Perasaan ini masih setia kepadamu.
"Aurel gak pernah mau aku ajak ke tempat ini. Dia selalu menolak. Hanya kamu yang punya selera sama denganku" Gio menyikut sikuku.
"Dia kan takut ketinggian Gio. Wajar dong" ucapku terlihat membela Aurel.
"Ah, iya kamu benar juga! Oh ya, bagaimana kabar novelis yang satu ini? Sudah lama aku gak lihat novel baru dari kamu"
"Masih observasi. Belum ada ide yang pas lagi"
"Mau buat cerita seperti apa? Menurutku tema romance yang biasa kamu angkat itu cukup laris di pasaran"
"Iya sih, tapi mau coba hal yang baru aja. Bosen dengan yang mainstream" cengirku.
"Hebat! Tambah inovatif aja kayaknya nih" Gio mengacak poniku lagi. Lagi-lagi hatiku berdesir dibuatnya. Pipiku terasa begitu panas. Aku harap Gio tak bisa menyadari rona merah yang pasti tersembur di wajahku.
Dddrttt...
"Halo" Gio menerima panggilan telfon.
"....................."
Aku tak bisa mendengar siapa penelepon itu., namun aku tahu pasti itu Aurel.
"Ah, sudah selesai? ...Aku? Sudah ...aku sedang bersama Bella" Gio menoleh ke arahku. "Sekarang juga? Aku dekat kok dari café. Iya bisa ...ok" Gio memasang wajah tak enak padaku. Aku tahu pasti Aurel minta jemput dan aku langsung mengangguk tanda paham.
"Iya, gak papa. Sana cepet susul. Nanti dia lama menunggu. Aku masih pengen ada di sini sebentar" aku berusaha tersenyum padanya.
"Ok, aku duluan ya! Jangan pulang malam-malam. Hati-hati ya La!" Gio berpamitan dan langsung beranjak dari duduknya kemudian berlalu.
"Ok, thanks"
Lagi-lagi aku ditinggal sendiri. Dia lebih memilih bersama Aurel daripada lebih lama denganku. Hah?! Ada apa denganku? Bukankah aku tadi yang menyuruhnya. Kenapa lagi-lagi menyalahkan mereka?
Cahaya jingga semakin lama semakin menyapu bukit, mungkin tak lama lagi sinarnya akan redup. Sepertinya aku harus segera pulang. Di saat aku ingin beranjak dari dudukku...
Bruagkkk!
"Awh!"
Tiba-tiba tubuhku terasa berat. Ada sesuatu yang menimpaku dari atas sana. Apa mungkin buah pohon itu jatuh? Tapi ini lebih berat dan besar dari hanya buah yang jatuh dari pohon. Atau pohon besar itu yang tumbang?
"Ah! Tidak bisakah dia menjatuhkanku dengan lebih hati-hati?! Ini sakit sekali! Argh! Sepertinya tulangku patah" terdengar suara orang di dekatku. Setelah ku buka mata, ternyata dia tepat berada di atasku. Sadar posisi ini tak begitu nyaman, akupun buka suara.
"Emm...tidak bisakah kau menyingkirkan badanmu? Kau terasa begitu berat"
Dia yang terlihat baru sadar posisinya ada di atasku, langsung menyingkirkan tubuhnya ke samping. "Siapa kau?!"
Aku berusaha bangun dari jatuhku. "Aku yang seharusnya bertanya. Kau yang tiba-tiba berada di atasku dan menindihku" aku memegangi sikutku yang lecet. Ini terasa perih sekali. Sial!
"Apa kau manusia?"
"Ya tentu saja! Kau kira aku hantu? Dasar!" emosiku mulai naik.
"Itu artinya ini adalah bumi?" tanyanya dengan polos sambil melihat ke sekelilingnya.
Siapa sebenarnya orang aneh ini? Kenapa pertanyaannya begitu? Pakaiannya juga cukup aneh. Dia hanya memakai baju berwarna putih polos, celana panjang dengan warna senada tanpa memakai alas kaki. Wajahnya terlihat begitu pucat dan...aku cukup tak percaya ini, wajahnya bersinar.
"Hei, apa yang sedang kau bicarakan? Apa kau sedang syuting film atau drama?" tanyaku malah asal.
"Fil...? em? apa itu? Droma? Apa itu nama lain bumi?"
Ah! Cukup! Pria ini benar aneh. Aku tidak boleh lama-lama di sini bersamanya. Akupun tak menghiraukan pertanyaannya dan langsung pergi meniggalkan dia sendiri.
"Hei, tunggu!" dia mencegahku dengan menarik tanganku.
"Kau harus segera menemukan manusia yang ingin kau bantu. Ingat waktumu hanya 28 hari, dimulai dari sekarang!"
Suara berat terdengar menggelegar di tengah sunyinya senja. Aku sangat terkejut dibuatnya. Darimana suara itu berasal? Apa dia yang baru saja berbicara? Tapi apa maksudnya dengan waktu 28 hari? Membantu manusia? Kalau dia bukan manusia, lalu apa?