Ambang Eksistensi

Billy Yapananda Samudra
Chapter #1

RUMOR

Konon, di suatu tempat di perpustakaan SMA ini ada sebuah buku kuno. Buku kuno lusuh dengan sampul berwarna merah. Apa pun yang ditulis di lembaran buku itu akan menjadi kenyataan. Ya, buku itu dipercaya dapat mengabulkan permohonan. 

Kalau kamu menemukan buku itu, apa yang akan kamu tulis?

Apa permohonanmu?

***

Pagi hari, ketika matahari masih beranjak naik dan panas yang dipancarkannya masih terbilang hangat dan menyenangkan.

Di tengah kota kecil yang jaraknya sekitar satu sampai dengan dua jam dari ibu kota, berdiri sebuah gedung sekolah yang cukup besar. Gedung sekolah itu memiliki tiga lantai yang terhubung dengan tangga di bagian ujung kiri dan kanan gedung. Terlihat ruang-ruang kelas berjejer di setiap lantainya. Setiap lantainya terbuka dengan tembok yang tingginya hanya setengah lantai, membuat siswa-siswanya dapat bersandar ke tembok tersebut dan melihat keseluruhan area halaman sekolah dari lantai dua atau tiga.

Di tembok lantai duanya terpampang papan nama besar yang bertuliskan nama dari sekolah tersebut: SMA Satyaloka.

Suasana terbilang cukup ramai, sebagaimana layaknya sekolah di pagi hari. Beberapa siswa sedang berjalan santai memasuki area halaman dari arah gerbang yang terletak beberapa meter di depan. Beberapa siswa lainnya sudah asyik mengobrol—ada yang di depan kelas sambil bersandar di tembok, di kursi-kursi yang disediakan di samping lapangan yang terletak di halaman, dan juga sambil berjalan ke atau dari arah kantin yang gedungnya terpisah dari gedung utama sekolah.

Seorang siswi berjalan pelan ke arah gedung sekolah. Rambutnya pendek sebahu dan—entah mengapa—terlihat berantakan seolah tidak disisir. Dia mengenakan kacamata dengan frame berbentuk lingkaran. Seragamnya—putih abu—dikenakan dengan sangat rapi. Dia membawa ransel berwarna hitam di punggungnya. Dia berjalan sambil menunduk.

Selangkah lagi dia akan menginjak ubin lantai satu ketika tiba-tiba saja ada sejumlah besar air yang tumpah membasahinya dari atas. Dia tertegun. Tubuh kecilnya sedikit bergetar, entah karena dingin atau takut. Dia terdiam, tidak memberikan reaksi sama sekali. Dia berdiri dalam diam dalam kondisi tubuhnya yang basah total.

Dari lantai dua terlihat tiga siswi yang sedang menoleh ke arah bawah. Salah satu dari mereka—yang berdiri di sebelah kiri—tampak membawa ember kosong. Siswi yang berdiri di tengah tampak tersenyum tipis.

“Karen, Karen …. Berapa kali, sih, lo itu harus dibilangin kalau ke sekolah itu mandi dulu. Rambut masih berantakan, badan masih bau, kok, ke sekolah,” ucap siswi itu.

Karen—nama siswi yang habis disiram air itu—masih terdiam.

“Untung kita baik, jadi mau bantu mandiin lo. Meski pakai air comberan, sih!” lanjutnya sambil tertawa keras. Kedua siswi di kiri dan kanannya ikut tertawa.

Banyak siswa-siswi yang memperhatikan Karen, tetapi tidak ada satu pun yang membantunya. Sebagian merasa risih dan berjalan menjauh darinya, sebagian lagi langsung memalingkan muka dan berpura-pura tidak melihat.

“Ngomong-ngomong, mana ucapan makasih-nya? Kita ini, ‘kan, udah berbaik hati mandiin lo, tau, dong, kalau dibantu itu harusnya bilang apa? Ngerti sopan santun, ‘kan? Mana ucapan, terima kasih Erika dan teman-teman yang baik hati?” lanjut Erika—siswi yang berdiri di tengah itu—sambil menatap rendah Karen.

Karen membuka mulutnya sedikit, hendak mengatakan sesuatu.

“Lho? Karen?”

Seorang siswa berlari dari arah gerbang sekolah. Rambutnya yang agak panjang dan berantakan membuatnya terkesan seperti siswa nakal yang tidak suka mengikuti peraturan sekolah. Di lehernya ada headphone berwarna biru gelap yang dikalungkan begitu saja. Dia langsung menghampiri Karen.

“Kamu kenapa? Kok, basah kuyup begini?” tanyanya.

“Karen lupa mandi, jadi kami bantu mandiin,” jawab Erika dari lantai dua.

Siswa itu menengadahkan kepalanya, menatap tajam ke arah Erika.

“Kalian lagi? Apa, sih, mau kalian? Memangnya apa salah Karen sampai kalian selalu ngebully dia kayak gini? Memangnya apa yang udah Karen lakuin ke kalian? Dasar—”

“Berisik! Bawel banget, sih, lo jadi cowok. Mau berlagak jadi pahlawan kesiangan, hah? Asal lo tau, ya, Kenneth, apa yang Karen lakuin sampai kita begini ke dia itu bukan urusan lo!” potong Erika.

“Rika, lo itu, ya, bener-bener keter—”

“Berisik, berisik, berisik!” seru Erika sambil berjalan ke dalam ruang kelas, hilang dari pandangan Karen dan juga Kenneth. Kedua temannya tertawa kecil ke arah mereka sebelum mengikuti Erika ke dalam ruang kelas.

“Cih, cewek gila,” umpat Kenneth.

Karen yang sejak tadi hanya berdiam diri tiba-tiba melangkah pelan. Kenneth yang melihat itu langsung berjalan cepat ke depan Karen dan mencegatnya.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya.

Karen tidak menjawab.

“Kita ke UKS, ya, Ren. Di UKS ada seragam cadangan. Kamu bisa sakit kalau basah kuyup begini,” ucap Kenneth.

Karen tetap tidak menjawab.

Kenneth menghela napas lalu menggenggam tangan Karen. Meski sedikit memaksa, dia menuntun Karen untuk mengikutinya menuju UKS yang terletak di samping ruang guru di lantai satu. Banyak siswa-siswi yang memperhatikan mereka, tetapi Kenneth tampak tidak peduli. Karen sendiri sepanjang jalan hanya diam dan menunduk.

***

Suasana ruangan UKS tampak sepi, tidak terlihat ada orang selain Karen dan Kenneth. Karen terduduk di salah satu kursi yang ada di dalam ruangan, masih dalam kondisi basah kuyup. Ranselnya tergeletak begitu saja di atas lantai. Ada handuk di atas kepala Karen. Karen sendiri tampak tidak cukup peduli untuk mengeringkan tubuhnya dengan handuk itu, dia hanya menatap kosong ke arah lantai UKS.

Kenneth tampak sibuk membuka-buka rak dan lemari yang ada di dalam UKS. Dia membuka salah satu rak dan mendapati isinya hanya obat-obatan yang sebagian besar tidak dia kenali. Setelah menghela napas, dia beralih ke lemari yang terletak di samping salah satu kasur. Dia membuka lemari itu dan mendapati apa yang dia cari sejak tadi: seragam cadangan.

“Ah, di sini rupanya,” gumamnya.

Dia lalu mengeluarkan satu set seragam perempuan dari dalam lemari itu. Dia menoleh ke arah Karen dan terkejut mendapati Karen yang masih basah kuyup.

“Lho? Kok, kamu gak ngeringin badan kamu? ‘Kan, udah aku kasih handuk dari tadi,” tanyanya, heran.

Karen hanya diam saja mendengar pertanyaan Kenneth.

Kenneth menaruh seragam cadangan itu di meja UKS lalu mengambil handuk dari kepala Karen. Dia tersenyum tipis, “Aku bantu keringin kepala kamu, ya?”

Tanpa menunggu jawaban Karen, Kenneth langsung dengan sigap mengeringkan kepala Karen. Dengan lembut dia mulai mengeringkan rambut Karen. Ketika dia hendak beralih ke area pipi, Karen tiba-tiba bangkit berdiri. Kenneth terkejut, tetapi berusaha untuk tetap tenang dan kembali tersenyum.

“Kenapa? Mau ngeringin sendiri?” tawarnya.

Karen membuka mulutnya. Dia menggumamkan sesuatu, tetapi suaranya terlampau kecil sehingga Kenneth tidak dapat mendengarnya. Kenneth mengernyitkan dahinya.

“Ren? Kamu ngom—”

Dengan satu gerakan yang cepat, Karen mengambil seragam cadangan dari atas meja lalu berjalan keluar dari UKS. Semua terjadi dengan begitu cepat, sampai-sampai Kenneth tidak sempat memberikan reaksi apapun. Dia hanya terdiam, tidak siap dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah sadar dengan apa yang terjadi, dia menghela napas panjang.

Dia duduk di kursi yang tadi diduduki Karen. Tatapannya mengarah ke pintu UKS yang tadi dilewati Karen. Dia lalu bergumam pelan,

“Kalau kamu gak pernah mau buka hati kamu sama aku, terus gimana caranya aku bisa bantu kamu? Gimana caranya aku bisa ngelindungin kamu, Ren …?”

Lihat selengkapnya