Ambang Eksistensi

Billy Yapananda Samudra
Chapter #2

BUKU PENYIHIR

Karen …, Karen …, kenapa gak ada yang inget sama kamu, Ren? Ada apa ini?

Suasana SMA Satyaloka siang ini ramai selayaknya ketika sedang jam istirahat. Di koridor lantai dua, terlihat beberapa siswa sedang asyik mengobrol sambil bersandar ke tembok dan beberapa siswa lainnya sedang asyik bermain smartphone. Kenneth—yang baru saja dimarahi habis-habisan oleh Pak Victor di ruang konseling—berlari menyusuri koridor.

Dia berhenti di depan kelas XI-IPA 1.

Dia berjalan masuk ke dalam kelas dengan napas yang masih memburu sehabis lari. Dia melempar pandangannya, mengamati sebagian kecil siswa yang menghabiskan jam istirahatnya di dalam kelas. Ketika melihat Erika yang sedang tertawa bersama dengan teman-temannya, Kenneth bergegas menghampirinya.

“Erika!” panggilnya.

Erika dan teman-temannya menoleh ke arah Kenneth.

“Kenneth? Ada apa? Tumben lo nyamperin gue—”

Kenneth mencengkeram kedua pundak Erika dan menatap tajam Erika. Erika sontak terkejut dan sedikit meronta. Teman-teman Erika pun tidak kalah terkejut, mereka mundur satu langkah secara refleks dan terdiam—agaknya merasa terancam dengan tingkah Kenneth yang tiba-tiba itu.

“Apaan, sih, Ken? Udah gila, ya, lo? Lepasin—”

“Lo inget Karen, ‘kan, Rik?” tanya Kenneth.

“Hah? Karen? Lo ngom—”

“Karen, Rik, Karen! Yang pake kacamata, yang rambutnya berantakan sebahu! Yang biasa lo bully sama temen-temen lo itu!” seru Kennteh, setengah berteriak.

“Apaan, sih, lo?!” seru Erika sambil bangkit berdiri dan mendorong Kenneth, melepaskan diri dari cengkeraman di kedua pundaknya.

“Karen siapa? Memangnya ada anak sini yang namanya Karen?” tanyanya sambil memandang teman-temannya, yang dijawab dengan gelengan kepala.

“Lo ngigo, ya, Ken? Gak ada yang namanya Karen di sini dan gak ada orang yang gue kenal yang namanya Karen! Gak jelas, ah , lo!” seru Erika.

Kenneth menatap Erika dan teman-temannya dengan tatapan tidak percaya. Mulutnya terbuka sedikit, hendak mengatakan sesuatu untuk membalas ucapan Erika. Tetapi dia menutupnya kembali, tanda dia mengurungkan niatnya itu. Rasanya sia-sia, begitu pikirnya.

“Udah? Gitu doang? Lo ngeganggu gue, ngeganggu kita, cuma buat nanyain Karen gak jelas itu?” tanya Erika dengan nada bicara kesal.

“... sorry,” ucap Kenneth pelan.

Kenneth sedikit menunduk. Dia lalu berjalan keluar dari kelas meninggalkan Erika dan teman-temannya, yang masih bergerutu sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.

***

Seharian itu Kenneth seperti orang yang agaknya kurang waras. Dia menanyai satu per satu semua teman seangkatannya, namun semuanya hanya menggeleng dan memasang raut wajah kebingungan. Dia lalu beralih ke para guru, menanyai hal yang sama dan juga mendapatkan reaksi yang sama. Sampai akhirnya, dia pergi ke ruang Tata Usaha.

Dengan bermodalkan kebohongan bahwa dia dimintai tolong oleh salah satu guru untuk memeriksa data angkatannya, dia berhasil mendapatkan data administrasi angkatannya dari petugas administrasi sekolahnya yang terkenal jutek dan minim bicara. Dia membaca data-data itu dengan saksama, berusaha untuk mencari data atas nama Karen. Tetapi nihil. Yang ada hanya satu barisan kosong di antara data-data siswa yang namanya diawali huruf K. Baris kosong yang mengganjal.

“Ini gak mungkin …,” gumamnya.

Setelah mengembalikan data administrasi angkatannya ke petugas administrasi sekolah dan mengucapkan terima kasih, dia berjalan gontai ke arah halaman sekolah. Dia melipir dari keramaian yang timbul karena adanya kegiatan ekstrakurikuler futsal di siang itu. Dia duduk di kursi samping lapangan, membaur di antara siswa-siswi yang sedang menonton sambil sesekali berteriak memberikan semangat.

Dia menunduk. Tadi dia langsung berlari menuju ruang Tata Usaha begitu bel pulang sekolah berbunyi, sehingga seragamnya sedikit basah oleh keringat. Rambutnya yang memang biasanya berantakan juga menjadi semakin berantakan. Dia bahkan lupa membawa ranselnya, membuatnya terpaksa harus kembali ke kelasnya yang berada di lantai dua. Tetapi itu urusan nanti, untuk sekarang dia masih sibuk dengan pikirannya yang sedang semrawut.

“Kenapa semuanya bilang kalau sejak awal gak ada yang namanya Karen di sini? Kenapa semuanya lupa dengan dia? Sampai di data administrasi sekolah pun, nama Karen gak ada …. Seolah eksistensi dirinya diapus begitu aja dari dunia ini …,” gumamnya.

Dia menengadahkan kepalanya, menatap langit biru dan teriknya matahari siang.

“Sebenarnya, apa yang terjadi sama kamu, Ren …?”

***

Karen berjalan pelan memasuki ruang kelasnya. Suasana sepi—terlalu sepi malah. Memang jam dinding di kelas menunjukkan bahwa sudah lewat dari jam pulang sekolah, tetapi tetap saja suasananya terlalu sepi. Tidak terlihat siswa lain selain Karen, seolah semuanya menjadi siswa teladan yang menurut untuk langsung pulang ke rumahnya.

Karen duduk di kursinya. Dia mengamati sekelilingnya—seisi ruang kelasnya—dengan perlahan.

“Ternyata ruang kelas itu seluas ini, ya …,” gumamnya.

“Aku selalu merasa sesak di ruang kelas, merasa terhimpit dengan tatapan mata mereka yang mengolok-olokku dalam diam.”

Dia mengelus mejanya perlahan. Dia mengamati permukaan mejanya. Bersih. Mejanya seharusnya kotor dengan banyak coretan, tetapi yang dilihatnya saat ini begitu bersih. Seolah, coretan itu memang tidak pernah ada sejak awal.

“Coretan-coretan tidak beradab itu juga semuanya hilang, seolah memang tidak pernah tergores di meja ini …,” gumamnya lagi.

Karen menghela napas.

Dia bangkit berdiri dan sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seisi ruang kelas. Dia lalu berjalan perlahan ke depan kelas. Dia berhenti di depan whiteboard—yang juga putih bersih seolah tidak pernah dipakai—lalu berbalik menghadap kursi dan meja siswa. Dia menatap itu semua dalam diam.

“Apa ini yang memang aku inginkan …?”

Pikirannya melayang-layang kembali ke beberapa jam yang lalu, ke saat ketika dia menemukan buku yang dirumorkan dapat mengabulkan permohonan itu.

Karen menelan ludah. Dia mengambil bolpoin—yang memang sudah dia siapkan sejak awal—dari saku seragamnya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan jantungnya yang kini berdegup kencang.

Perlahan, dia menuliskan sesuatu di dalam lembaran kertas itu.

Lihat selengkapnya