Ambang Eksistensi

Billy Yapananda Samudra
Chapter #3

SIAPA...?

Matahari bersinar terik membuat hawa siang ini menjadi begitu panas dan menyengat. Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang, sementara trotoarnya tidak terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa orang saja di trotoar, baik yang sedang berjalan melintasinya atau para pedagang kaki lima yang melanggar peraturan demi mencari sesuap nasi.

Kenneth berjalan pelan melintasi trotoar itu. Dia mengenakan seragam lengkap dan membawa ranselnya, tidak lupa headphone biru gelap kesukaannya mengalung di lehernya. Ya, dia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dia bisa saja naik kendaraan umum, tetapi dia lebih senang berjalan kaki. Toh, dia juga tidak pernah buru-buru untuk sampai rumah.

“Hal berharga, ya …? Kira-kira hal berharga apa yang akan direnggut dari Karen? Apa eksistensinya di dunia ini yang direnggut? Tapi kalau begitu, memang apa permohonannya sampai bayarannya seekstrem itu?” gumam Kenneth sambil terus berjalan.

Dia menghela napas.

“Aku harus mencari tahu lebih banyak soal buku penyihir itu.”

***

Karen membuka matanya perlahan. Dia masih duduk di lantai, bersandar ke tembok di bawah whiteboard. Tatapannya kosong, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Dia menatap ruang kelas yang masih kosong seperti sebelumnya, membuatnya menghela napas sebelum perlahan bangkit berdiri.

Dalam diam, dia berjalan keluar dari ruang kelas.

***

Erika menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya. Di hadapannya ada sepiring nasi putih dengan telur mata sapi setengah matang sebagai lauknya. Dia mengenakan pakaian kasual—kaus putih kebesaran dengan celana hitam selutut, duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan di rumahnya itu. Ruang makannya cukup rapi dengan meja makan di tengah ruangan dan empat kursi yang mengitarinya, juga beberapa pigura yang menghiasi tembok.

Di seberang Erika ada seorang wanita paruh baya yang juga sedang duduk dan memakan makanan yang sama dengannya. Wajahnya sekilas mirip dengan Erika, hanya saja sudah mulai berkeriput. Ya, wanita paruh baya itu adalah Ibu-nya. Mereka berdua makan dalam diam, membuat suasana begitu hening dan menyesakkan.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara bel dari arah luar rumah.

Erika tersentak mendengarnya. Dia diam mematung, bahkan sendok berisi potongan telur mata sapi setengah matang yang sudah sedikit terangkat dari piringnya pun ikut terdiam. Sementara itu, Ibu tetap tenang dan melanjutkan makan seolah tidak terjadi apa-apa. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan suara bel itu.

Suara bel itu kembali terdengar. Lagi dan lagi. Sungguh, siapa pun yang membunyikan bel itu dari luar, dia tentunya sangat ingin masuk ke dalam rumah. Interval dari suara bel itu semakin lama semakin singkat, sampai akhirnya suara bel itu terdengar terus-menerus tanpa henti. Suasana yang tadinya begitu hening, kini menjadi bising tak tertahankan.

Erika menaruh sendoknya, dia berhenti makan. Dia menunduk, jelas sekali dia tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Ibu melihatnya dengan tatapan yang tenang.

“Kenapa? Ayo, dilanjut makannya,” ucapnya.

“Ibu …,” Erika melirik ke arah pintu rumahnya yang berada cukup jauh dari ruang makan, “... nggak mau bukain pintu?”

“Buka pintu? Untuk apa?”

“Memangnya Ibu gak keganggu sama bunyi bel yang gak berhenti-berhenti itu?”

Ibu terdiam. Dia menaruh sendoknya lalu menatap tajam Erika. Erika menelan ludah, sadar bahwa dia telah bertanya sesuatu yang salah.

“Ibu lebih keganggu kalau laki-laki busuk itu menginjakkan kakinya di rumah ini,” jawab Ibu tegas.

“Tapi, Bu—”

Ibu memukul meja makan—membuat beberapa butir nasi keluar dari piring dan mengotori meja itu—dengan keras lalu bangkit berdiri. Erika tersentak, ucapannya terhenti dan matanya mulai berkaca-kaca. 

“Tapi apa? Sebegitu inginnya kamu ngelihat bajingan itu? Sebegitu inginnya kamu untuk dia masuk ke rumah kita ini?!” tanya Ibu dengan setengah berteriak.

Erika menunduk, dia tidak cukup berani untuk menatap langsung Ibu yang sedang tersulut emosi.

“Bukan begitu maksudku, Bu …,” gumamnya lirih, dengan suara yang tercekat karena menahan tangis.

Ibu berjalan mengitari meja makan, menghampiri Erika. Dia memegang kedua pipi Erika dan memaksanya untuk mengangkat kepalanya, membuat tatapan mereka saling bertemu. Air mata Erika tampak sudah menumpuk di ekor matanya.

“Kamu ada di sisi Ibu, ‘kan, Rika?” tanya Ibu dengan suara yang dilembutkan.

Erika terdiam mendengar pertanyaan itu.

Perlahan, dengan sedikit bergetar, Erika menganggukkan kepalanya. Ibu tersenyum puas melihatnya. Dia tersenyum lebar lalu memeluk Erika, juga mengelus lembut rambut Erika. Erika sendiri hanya terdiam.

“Cuma kamu, Rika. Cuma kamu seorang yang ada di sisi Ibu …,” ucap Ibu lirih.

Perlahan, air mata menetes dari mata kiri Erika, membasahi pipinya dengan lembut. Suara bel masih terus terdengar, sementara Ibu tidak kunjung melepas pelukannya. Erika hanya dapat memasrahkan dirinya, menangis dalam diam meratapi keluarga kecilnya yang kini sudah hancur.

***

Kenneth membuka pintu perlahan. Ruang tamu yang tertata rapi dan bersih menyambutnya kepulangannya. Ruang tamu itu didominasi warna putih dengan perabotan dan dekorasi yang bergaya minimalis. Dia membuka sepatu dan kaus kakinya, menaruhnya di rak sepatu yang terletak tepat di samping pintu.

Dia lalu berjalan perlahan ke dalam rumahnya itu, hendak langsung ke kamarnya ketika ekor matanya secara tidak sengaja melihat ada secarik kertas dan selembar uang seratus ribu rupiah di meja tamunya. Dengan enggan, dia mengambil kertas itu. Ada tulisan tangan yang sedikit berantakan di kertas itu, bertuliskan: Malam ini Ayah tidak pulang. Pakai uang ini untuk beli makan.

Dia mengalihkan pandangannya ke selembar uang seratus ribu rupiah itu. Tatapannya kosong. Tanpa dia sadari, dia perlahan meremas kertas berisikan pesan dari Ayah-nya itu sampai tidak lagi berbentuk.

***

Karen berjalan perlahan menyusuri koridor lantai dua. Tatapannya tertuju pada lapangan di halaman sekolahnya.

“Aneh …. Aku gak lapar, juga gak haus. Yang aku rasain … cuma rasa kantuk yang begitu kuat. Yang gak hilang-hilang gak peduli berapa lama aku tidur,” gumamnya sambil terus berjalan.

Matanya sedikit terpejam, namun dia menepuk kedua pipinya untuk melawan rasa kantuk itu dan memaksa matanya untuk kembali terbuka. Dia menepuk kedua pipinya berulang kali sampai pipinya sedikit memerah. Langkah kakinya semakin cepat, sampai akhirnya dia mulai berlari.

“Perasaanku gak enak. Ada yang aneh. Ini gak cuma sekedar semuanya menghilang, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu. Ada yang mengganjal dari semua yang aku alami ini.”

***

Kenneth menyeruput mie instan di ruang tamunya. Dia duduk di sofa tamu, tentunya sudah mengganti seragamnya dengan pakaian kasual—kaus hitam dan celana pendek biru gelap. Di meja tamunya masih terlihat uang seratus ribu rupiah yang diberikan Ayah-nya itu. Dia tidak menyentuhnya sedikit pun. Dia tidak tertarik.

“Apa, sih, susahnya buat pulang dan makan malem bareng anaknya sendiri? Kerja, kerja, dan kerja yang ada di pikirannya itu. Cih, gue tau, kok, kalau gue bukan anak yang lo harapin, Yah,” ucap Kenneth sinis sambil menaruh mangkuk kosong—hanya tersisa sedikit kuah dari mie instan yang tadi dimakannya—di atas meja tamu.

Dia menghela napas.

Lihat selengkapnya