Ambang Eksistensi

Billy Yapananda Samudra
Chapter #4

KAREN

Karen perlahan bangun dari posisi berbaringnya. Dia berdiri di tengah lapangan. Dia berputar—seolah sedang menari—sambil memperhatikan sekitarnya. Senyum kecil terlihat di wajahnya. Tampaknya, dia menikmati kegiatan—jika bisa dikatakan demikian—tidak jelas yang sedang dilakukannya itu.

Dia berhenti berputar ketika tatapannya melihat sesuatu, melihat gedung sekolahnya. Lebih tepatnya, melihat deretan kelas di lantai dua gedung sekolahnya. Melihat kelasnya, kelas XI IPA-1.

Dia terdiam.

“Mengapa? Kamu ingin kembali?”

Karen tersentak. Sebuah suara parau dengan aksen Eropa terdengar entah dari mana. Karen menoleh ke kiri dan kanan, berusaha mencari sosok di balik suara itu. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba sebuah tangan perlahan mengelus rambutnya dari sebelah kiri. Dia kembali tersentak.

Dia menoleh ke sebelah kirinya, mendapati sesosok wanita tua—sangat tua bahkan—dengan pakaian yang terlihat kuno.

Wanita tua itu lebih tinggi daripada Karen. Agaknya perbedaan tinggi di antara mereka cukup jauh, terlihat dari bagaimana Karen harus menengadahkan kepalanya agar dapat melihat wajah si wanita tua. Rambut wanita tua itu panjang berantakan dengan warna abu gelap yang terkesan kusam. Wanita tua itu menatap Karen dingin, berbanding terbalik dengan elusan lembut dari tangan kirinya.

“Kamu ingin kembali? Ke ruangan itu, ke keseharianmu itu?” tanya wanita tua itu dengan suara paraunya.

Karen menatap wanita tua itu dengan penuh rasa takut. Badannya sedikit bergetar dan mulutnya terbuka sedikit. Meski ragu, dia tetap berbicara, merespons si wanita tua.

“Kamu …, kamu siapa …?” tanyanya dengan suara lirih.

Wanita tua itu melepaskan tangannya dari rambut Karen. Dia lalu sedikit menundukkan kepalanya, cukup sampai matanya dan mata Karen berada dalam satu garis yang sejajar. Tatapan dinginnya masih tidak juga berubah.

“Kamu memakai bukuku tanpa tahu siapa aku?”

Karen sedikit tersentak mendengarnya. Tersirat keterkejutan yang bercampur aduk dengan kebingungan di bola matanya. Wanita tua itu menatapnya tajam, sementara Karen hanya terdiam tanpa tahu harus berkata apa.

***

Terdengar suara bel berdering, tanda bahwa waktu untuk kegiatan belajar-mengajar telah usai dan tiba waktu yang dinantikan oleh para siswa—waktunya pulang.

Suasana sekolah berangsur menjadi ramai. Satu per satu guru keluar dari ruang kelas, diikuti oleh para siswa. Sebagian besar siswa keluar dari ruang kelas sambil mengobrol dengan siswa lain dan beberapa hanya diam karena sibuk bermain smartphone. Para siswa lalu terpencar setelah sampai di halaman sekolah, ada yang langsung berjalan menuju arah gerbang sekolah, ada yang mampir dahulu ke kantin, dan—terakhir—ada yang bersiap-siap untuk kegiatan ekstrakurikuler.

Alih-alih bergegas pulang, Kenneth justru berjalan santai menuju kelas XI IPA-1. Dia masuk ke dalam kelas yang sudah sepi, hanya terlihat Erika yang masih duduk di kursinya. Erika menatapnya dengan tatapan kesal.

“Lama,” gerutu Erika.

Kenneth hanya tersenyum kecil lalu berjalan menghampiri Erika. Dia membalikkan kursi yang ada di depan Erika sehingga menghadap ke belakang, lalu mendudukinya. Dia dan Erika kini saling bertatapan.

Sorry, tadi abis ngobrol sama Aldo,” ucap Kenneth tanpa dosa.

Erika mendecak kesal.

“Ya udah, langsung aja ke intinya, deh,” ucap Erika, “Jadi Karen itu siapa? Lo udah janji, ya, mau cerita abis pulang sekolah.”

“Iya, ini gue mau cerita, kok,” jawab Kenneth.

Dia membenarkan posisi duduknya lalu menatap Erika, kali ini tatapannya serius.

“Tapi lo bener-bener gak inget sama Karen, Rik?” tanyanya kemudian.

“Lo mau nanya berapa kali, sih, Ken? Gue udah jawab gue itu gak inget sama sekali soal Karen. Sampai sekarang juga sama, gue bener-bener gak inget. Makanya gue ngerasa aneh banget kenapa namanya bisa kesebut sama gue tanpa gue sadar,” jawab Erika, nada bicaranya terdengar sedikit kesal.

Kenneth menghela napas.

“Jadi …,” ucap Kenneth, memulai ceritanya.

“Karen itu … kakak kembar gue.”

Erika mengernyitkan dahinya, merasa ada yang aneh dengan ucapan Kenneth, tetapi akhirnya memutuskan untuk tetap diam dan lanjut mendengarkan.

“Karen dan gue itu kembar gak identik. Ya, jelas, sih. Beda jenis kelamin juga, ‘kan? Jadi memang gak mungkin identik. Hm …, kalau lo gak percaya, perhatiin aja nama belakang gue sama Karen. Lo gak sadar, ‘kan, kalau nama belakang kita itu sama? Karen Putri Sidharta, terus nama panjang gue itu Kenneth Putra Sidharta.”

Pandangan Kenneth melembut, tatapannya mengawang seolah sedang berusaha untuk menembus ruang dan waktu untuk kembali ke masa lalu.

“Karen itu anak yang energik dan ceria. Dia murah senyum juga baik hati. Tapi, suatu hari di bulan November, terjadi sesuatu yang ngubah itu semua ….”

***

Seorang anak perempuan kecil—usianya sekitar empat atau lima tahun—tergeletak di tengah jalan dengan kepala dan tubuh bagian atas yang bersimbah darah. Tidak jauh darinya ada mobil yang terhenti dengan posisi yang tidak seharusnya. Kemacetan mulai terjadi karena mobil itu.

Seorang wanita berdiri tidak jauh dari anak perempuan kecil itu, berteriak histeris dengan mata yang membelalak—tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air matanya mengalir deras tanpa kendali. Seorang pria berpakaian rapi keluar dari mobil itu, wajahnya pucat karena panik. Dia menghampiri anak perempuan kecil itu.

Tidak butuh lama sampai timbul kerumunan orang yang mengelilingi anak perempuan kecil itu—beberapa hanya terdiam dengan muka yang pucat, beberapa tampak berbisik satu dengan yang lainnya.

Tangisan dan teriakan histeris si wanita terus terdengar sementara si pria sibuk membopong anak perempuan kecil itu ke dalam mobilnya, terdengar juga suara klakson dari berbagai kendaraan yang terjebak dalam kemacetan yang terjadi. Bisikan-bisikan orang yang berkerumun menambah kebisingan yang ada. Suasana begitu ramai dan kacau.

***

“Gue masih inget banget kalau di hari itu, tuh, gue sendirian di rumah. Nonton kartun di TV dengan santainya. Sedangkan Karen ikut Ibu belanja ke swalayan. Tapi dia kecelakaan di jalan pulang. Dia ditabrak mobil dan kepalanya luka parah. Untungnya, pengemudi mobil itu mau tanggung jawab. Dia langsung nganterin Karen sama Ibu gue ke rumah sakit terdekat.”

***

Anak perempuan kecil itu kini terbaring di atas kasur di salah satu ruang operasi di salah satu rumah sakit paling besar di kota kecil itu. Beberapa dokter dan perawat tengah melakukan operasi terhadap anak perempuan kecil itu, terutama terhadap luka di kepalanya.

Layar monitor menampilkan tanda-tanda vital dari anak perempuan kecil itu. Tanda-tanda vital itu terlihat tidak stabil, membuat para dokter dan perawat semakin tegang dalam melakukan operasinya. Bagaimana pun juga, mereka hanya dapat berjuang semampu mereka dan memasrahkan takdir anak perempuan kecil itu kepada Yang Maha Kuasa.

Di luar ruang operasi, si wanita yang merupakan Ibu dari anak perempuan kecil itu terduduk dengan lemas di salah satu kursi tunggu. Mukanya pucat. Matanya sembab setelah menangis begitu lama. Bahkan saat ini pun matanya masih tampak berkaca-kaca. Para perawat yang berjalan melewatinya hanya menatapnya dengan tatapan kasihan. Dia menunduk, kedua tangannya dia katupkan tanda dia sedang berdoa sesuai dengan keyakinannya. Bibirnya gemetar sementara dia terus mengucapkan sesuatu dengan lirih—dengan suaranya begitu kecil sampai tidak terdengar.

Seorang pria berlari di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat, rambut dan pakaiannya berantakan. Dia menghampiri si wanita dan berhenti tepat di depannya. Napasnya memburu.

“Gimana kondisi Karen? Lukanya gak bahaya, ‘kan? Dia—”

Lihat selengkapnya