Ambang Eksistensi

Billy Yapananda Samudra
Chapter #5

IKATAN

“... lo gak berharap gue percaya sama cerita lo itu, ‘kan?” tanya Erika.

“Tapi itu kenyataannya, Rik. Seenggaknya, itu yang gue tau sejauh ini …,” jawab Kenneth dengan agak ragu.

Erika bangkit berdiri. Dia berjalan ke depan, membelakangi Kenneth. Kenneth menoleh perlahan ke arahnya.

“Jadi lo bilang di perpustakaan sekolah kita ini ada buku punya penyihir dari jaman antah-berantah yang bisa ngabulin permohonan, terus gak tau gimana Karen nemuin buku itu dan nulis permohonannya yang gak tau apa tapi tau-tau itu bikin dia jadi ngilang gitu aja?” tanya Erika sambil melirik ke arah Kenneth.

Kenneth tersenyum kecil. Dia lalu membenarkan posisi kursinya—kembali menghadap ke depan—dan menatap Erika.

“Bener. Ternyata lo nyimak, ya, Rik,” jawabnya.

“Dan lo berharap gue percaya semua itu?” tanya Erika.

Kenneth mengangguk dengan raut wajah optimis. Erika menatapnya tidak percaya. Dia menghela napas lalu membalikkan badannya sehingga kini dia dan Kenneth kembali saling berhadapan.

“Absurd banget, sih, kalau sampai semua itu beneran kejadian …,” komentar Erika.

“Gue setuju. Memang absurd. Absurd banget malah. Kayak cerita novel atau film. Tapi, gue ulang lagi, nih, ya, kalau itu, tuh, kenyataannya, Rik. Yang gue tau, ya, kayak gitu,” ucap Kenneth.

Mereka berdua terdiam. Kenneth menatap Erika, menunggu Erika memberikan reaksi apa pun itu.

“Ken, lo—”

“Lho? Lo di sini rupanya, Ken? Gue cariin dari tad—”

Kenneth dan Erika refleks menoleh ke sumber suara yang tiba-tiba ikut mengisi ruang kelas. Mereka melihat Aldo yang sedang terdiam di depan pintu kelas. Mereka bertiga saling terdiam. Aldo memperhatikan mereka berdua lalu tersenyum penuh arti.

Sorry. Gue ganggu, ya?” ucapnya, memecah keheningan di antara mereka.

“Ganggu? Ganggu apa?” tanya Kenneth dengan polosnya.

Erika menatap tajam Aldo.

“Biar gue tegasin. Lo salah paham, Do. Apa pun yang lo pikirin soal gue sama Kenneth, itu salah,” ucap Erika tegas.

“Tapi gue baru tau kalau kalian ternyata pacaran. Kenneth memang jarang cerita soal dirinya, sih. Ya …, kalau diliat-liat, sih, cocok juga,” gumam Aldo, berbicara dengan dirinya sendiri sebelum dia menatap Kenneth dengan tatapan serius, “Udah lama jadiannya, Ken? Apa baru aja?”

Kenneth menatap Aldo dengan tatapan bingung. “Jadian apa?” tanyanya.

“Gue udah bilang, apa pun yang lo pikirin soal gue sama Kenneth itu salah,” ulang Erika sambil menghela napas.

***

“Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu merasa kamu sendirian, kamu merasa kamu lah yang paling menderita. Tetapi, sesungguhnya kamu ini tidak tahu apa-apa. Kamu hanya lari,” ucap si wanita tua.

Karen menatapnya bingung, semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh si wanita tua.

“Jangan lari. Jangan lari dari realita. Jangan lari dari penderitaan, putri kecilku yang manis. Hadapi. Kamu tidak sendirian,” lanjut si wanita tua.

“Tapi … aku memang selalu sendirian …,” jawab Karen, ragu.

Wanita tua itu menggelengkan kepalanya perlahan.

“Kamu tidak pernah sendirian. Kamu hanya tidak tahu itu, karena selama ini kamu terlalu terpaku dengan apa yang ada di permukaannya saja,” ucapnya kemudian.

***

Aldo sekarang sudah duduk di samping Kenneth. Erika masih berdiri, raut wajahnya terlihat kesal dengan tangan yang menyilang di depan dada. Kenneth tampak tidak terganggu, baik dengan kehadiran Aldo maupun perubahan ekspresi Erika. Dia hanya terdiam. Aldo sendiri menatap Erika sambil terkekeh.

“Gak usah kesel gitu kali, Rik. Gue, ‘kan, cuma bercanda,” ucap Aldo, “Eh, tapi kalau lo kesel gitu, jangan-jangan gue bener? Katanya, marah itu tandanya bener. Jadi lo sama Kenneth bener-bener pac—”

“Do, lo tau gak kalau gue pernah belajar taekwondo pas SMP? Kebetulan udah sabuk merah, nih,” ucap Erika, memotong ucapan Aldo.

“Jadi gini, Ken,” ucap Aldo sambil memalingkan pandangannya ke Kenneth, “Gue tadi dari toko buku bekas yang ada di gang belakang sekolah. Biasa, nyari majalah bo—”

“Ehem!” seru Erika, “Majalah bo …?”

“Majalah Bobo. Tau, ‘kan, lo? Yang kelinci biru itu. Asli, bagus banget itu majalah. Cerita di dalemnya lucu-lucu,” ucap Aldo, disusul dengan tawa yang canggung.

“Boong lu jelek banget, Do,” komentar Kenneth.

“Udah, udah. Gak penting gue nyari apa di sana,” ucap Aldo, berusaha mengalihkan topik pembicaraan, “Singkat cerita, gue tadi ngobrol sama kakek pemilik toko buku bekas itu. Nah, dia ternyata tau cerita soal buku penyihir itu, Ken.”

“... gue masih gak percaya sama cerita soal buku penyihir itu. Gak mungkin ada buku yang bisa ngabulin permohonan gitu,” ucap Erika.

“Gue percaya gak percaya, sih. Tapi, ya, kata si kakek itu—” Aldo terdiam sejenak lalu menoleh ke Erika, “Lho? Kok, lo tau soal buku penyihir? Gue kira cewek gaul kayak lo gak peduli sama rumor jaman dulu gitu.”

“Tadi gue yang cerita ke Rika,” jawab Kenneth.

Aldo tersenyum usil.

“Oh …, akrab, ya, kalian …,” ucapnya sambil terkekeh.

“Ken, lo ada plester luka gak? Kayaknya Aldo bakal butuh, nih,” ucap Erika sambil menatap tajam Aldo.

“Jadi, si kakek pemilik toko buku bekas itu bilang ke gue kalau rumor soal buku itu udah ada dari jaman dia masih anak-anak,” tutur Aldo, mengabaikan ancaman halus Erika dan memasang muka seserius yang dia bisa.

“Dari sebelum sekolah kita ini berdiri, rumor soal buku itu udah ada di kalangan warga lokal sini. Ada yang bilang bukunya ada di balai kota lah, di perpustakaan daerah lah, aneh-aneh, deh, pokoknya. Gak cuma lokasinya, rumor soal cara nemuin bukunya juga beda-beda. Ada yang bilang bukunya cuma bisa ditemuin sama orang yang mendem emosi negatif, ada yang bilang justru bukunya bisa ditemuin sama orang yang gak punya emosi negatif. Macem-macem, deh, pokoknya.”

“Terus?” tanya Kenneth.

“Yang menarik, nih, ya. Si kakek cerita kalau ada satu kalimat yang konon tertulis di dalem buku itu,” jawab Aldo.

“Bukannya katanya gak tertulis apa-apa di buku itu?” tanya Kenneth, mengernyitkan dahinya karena bingung.

“Nah, itu dia! Justru itu yang bikin gue tertarik sama cerita si kakek. Karena yang kita tau, ‘kan, gak tertulis apa-apa di buku itu. Tapi si kakek justru yakin banget kalau ada satu kalimat yang tertulis. Menarik, ‘kan?” tanya Aldo dengan penuh semangat.

“Menarik,” jawab Kenneth sambil menganggukkan kepalanya.

“Memangnya kalimat apa yang tertulis di buku itu?” tanya Erika.

“Lho? Katanya lo gak percaya sama buku itu?” Aldo balik bertanya dengan nada usil.

Erika terdiam sejenak. Dia lalu tersenyum—senyuman lebar yang mencurigakan. Perlahan, dia menggerakkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, memasang kuda-kuda taekwondo. 

“Itu kata-kata terakhir lo?” tanyanya kemudian.

“Kalau gue ngejanya gak bener gak apa-apa, ya. Bahasa asing soalnya,” ucap Aldo, lagi-lagi mengabaikan Erika, “Kalau gak salah, kalimatnya itu … die kraft der bindung.”

“Hah?” ucap Kenneth dan Erika dengan kompak, jelas sekali mereka tidak menangkap apa yang baru saja diucapkan Aldo.

Die kraft der bindung,” ulang Aldo.

“Itu bahasa apa?” tanya Kenneth, bingung.

“Jerman? Si penyihir gak jelas itu ceritanya dari Jerman, ‘kan?” tebak Erika.

“Nah! Bener kata Erika, itu bahasa Jerman. Kata si kakek, sih, bahasa Jerman. Gue juga sebenernya gak tau, tapi gue percaya-percaya aja sama si kakek,” jawab Aldo.

“Artinya apa?” tanya Erika.

“Gak tau bener apa nggak, sih …, tapi kalau kata si kakek, artinya itu kekuatan dari sebuah ikatan,” jawab Aldo.

Erika mengernyitkan dahinya.

Kekuatan dari sebuah ikatan?” ulang Kenneth.

“Gak jelas amat,” komentar Erika.

“Ya …, gak ngerti juga, sih, maksudnya apaan. Tapi lo lagi nyari tau soal buku penyihir itu, ‘kan, Ken? Jadi gue pikir lo bakal tertarik sama info ini,” ucap Aldo sambil menatap Kenneth.

“Iya, thanks, ya, Do,” jawab Kenneth.

Lihat selengkapnya