Kisah fiksi ini mengambil beberapa alur cerita, tempat dan tokoh nyata pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Jakarta, 2024
Kisah ini tak biasa, namun pantang menyebutnya luar biasa. Ini adalah tentang bumi Melayu yang merana berselimut kabut gelap, padahal nun jauh di atas sana, angkasa merona berhias bintang gemerlap.
Kau akan menemukan rasa yang seharusnya tidak bisa hadir bersamaan. Bukankah ‘bangga dan malu’ atau ‘bahagia dan marah’ tidak mungkin mengisi hati pada waktu yang sama?
Kisah ini kutulis dari cerita seorang laki-laki tua yang menuturkan pengalaman masa lalunya. Sebagian perjalanan hidupnya kutemukan tercatat dalam buku sejarah. Bahkan, sebagian lain yang tidak tercatat juga menyisakan jejak nyata yang bisa kita telusuri. Namun, sayangnya, nama orang tua itu tidak mungkin kau temukan dalam buku sejarah.
Awalnya aku kecewa pada para penulis sejarah. Namun, setelah laki-laki tua usai bercerita, aku pikir memang sebaiknya begitu.
Sumatera Timur, 1923
Sungai Secanggang
Menanggalkan pucuk sauh, terapung tinggalkan tepi.
Malam nampak menjauh, tapi pagi masih menanti.
Sebuah sampan melaju pelan menyusuri Sungai Secanggang. Di atasnya tampak nelayan tua bersama bocah belia menuju laut lepas. Warga kampung Secanggang biasa memanggil nelayan itu Atuk1 Deroen.
Bukan nak2 kejam, tapi sekadar memberi bekal. Atuk Deroen memang selalu mengasah mental cucunya yang sejak bayi telah yatim piatu.
Bukan nak lancang pula mendahului garis nasib, tapi meniti hidup tentu harus berhitung. Atuk Deroen juga merasa usianya telah mendekati ujung senja.
Bila masa datang, selepas mata mengatup, bibir mengetam dan tubuh terbujur kaku, Atuk Deroen berharap bocah hijaunya mampu sematang laki-laki dewasa saat menjalani hidup sebatang kara.
Bukan dukun, apalagi tukang tenung. Dia hanya insan yang tekun, gemar mengamati alam untuk menyingkap rahasia yang terselubung.
Warga kampung memang menganggap Atuk Deroen ‘orang pintar’. Banyak orang datang minta bantuannya agar cepat bertemu jodoh, sembuh dari penyakit, meramal nasib hingga hal lain yang tak masuk akal. Padahal Atuk Deroen tak suka hal klenik, ia bilang hanya memberi solusi logis. Andai boleh memilih, Atuk Deroen lebih suka diperlakukan sebagai mestinya nelayan biasa.
Berkelok-kelok Sungai Secanggang,
Sampan tersangkut bila tak paham.
Saat gelap sulit memandang.
Nyalakan lampu lawan temaram.
Sampan melambat. Atuk Deroen menyalakan lampu minyak tambahan agar matanya yang tak lagi setajam dulu mampu menembus gelapnya malam. Setelah lebih terang, dia kembali mengayuh sambil melantukan nada berbunyi pantun untuk menentramkan hati cucunya yang duduk di bagian depan sampan, kendati bocah yang bernama Irwansyah itu tampak tenang.
Irwansyah diam karena menikmati perjalan pertama kalinya menuju laut lepas, bukan karena gentar oleh panorama hutan gelap yang terbelah sungai dan suara-suara asing penghuninya.
Kayuh digenggam membelah air.
Terdengar syahdu memecah sunyi.
Nelayan tua lantunkan syair.
Hati yang sendu bawa bernya….
Suara benturan air yang tak seirama dengan putaran kayuh membuat Atuk Deroen berhenti bersenandung. Matanya menyipit menembus pekatnya air yang masih terjangkau cahaya. Tampak garis-garis riak air yang bergerak melawan arus menuju sampan. Tiba-tiba seekor buaya besar muncul mendongakkan kepala ke atas permukaan sungai.
Sungguh tajam taring yang dipamerkan sang penguasa sungai, tetapi tak sedikitpun sikap takut yang ditunjukkan kedua insan di atas sampan. Atuk Deroen malah bersenandung lagi sambil menepuk-nepuk pelan sisi sampan, sementara Irwansyah memandangi buaya itu seolah hanya berjumpa batang pohon.
Buaya itu memang mendekat tetapi tak mengganggu, seolah sekadar ingin memastikan siapa yang melewati wilayah kekuasaannya.
Tersebut sudah dalam hikayat.
Laksamana Hang Tuah setia amanah.
Menjunjung harkat juga martabat.
Jangan Melayu buang zuriat
Laut Selat Malaka
Lepas dari muara, laut menangkap, hingga kayuh tak mampu lagi menyorong sampan dari pinggir laut. Gelombang ombak mengombang-ambing, kaki tua Atuk Deroen tetap kokoh menopang tubuh yang berdiri membaca langit.
Arah telah ditentukan, layar dikembangkan, hingga angin menghembus sampan melaju ke tengah laut. Sepanjang berlayar Atuk Deroen menjelaskan perihal kebiasaan nelayan melaut, sementara Irwansyah hanya diam mendengar. Sampai di bagian laut yang dituju, Atuk Deroen menguncupkan layar.
“Atuk tengok sejak awal, kau tak ade sekalipun cakap. Risau?”
“Ape nak Irwan cakap, Tuk? Sejak awal semue nampak gelap.”
Atuk Deroen tersenyum. “Irwansyah, bile dunie sedang begitu gelap, jangan terikut suasane hingge bagai orang bute. Buatlah cahaye sendiri atau cari cahaye dari alam yang dapat jadi penuntun.”
Irwansyah pun menatap angkasa.
“Tengoklah, gelap malah membuat langit yang jauh tu lebih jelas ketimbang laut yang dekat. Perhatikan bintang-bintang yang betabur tu, selain sedap dipandang, begune pule sebagai penunjuk arah.”
“Tapi, Tuk, bile turun hujan, langit pun gelap.”
“Itulah sebab kite patut memohon perlindungan Allah. Semue Die yang mengatur. Atuk tu selalu berdoe supaye alam mau bekawan.”
“Lalu macam mane bile Allah tetap nak menurunkan hujan?”
Atuk Deroen tersenyum. “Ape soal? Sekalipun badai yang diturunkanNye, tak kan mungkin Allah salah berhitung.”
“Tenggelamlah kite ni, Tuk.”
“Bilepun ade orang baik dan soleh yang mati terhempas badai, berarti Allah dah rindu, nak segere mengganjar amal baiknye. Orang-orang yang Die sayang tu, sekalipun nampak sengsare di dunie, tapi nanti Insya Allah paling beruntung di akhirat.”
“Atuk, ape Tuhan marah bile Irwan nak beruntung di dunie dan akhirat?”
“Tidaklah, due-due boleh kite cari, tapi tujuan utame harus tetap akhirat.”
“Ape sebab, Tuk?”
“Karene jatah hidup kite di dunie begitu singkat, sungguh tak sebanding dengan akhirat. Dunie ni hanye tempat singgah sekejap, sementare akhirat tempat menetap selamenye. Bile diminte memilih, tempat mane yang perlu kite buat sebagus mungkin?”
“Tempat menetap selamenye.”
“Pandai.”