Ambang Senja

indra wibawa
Chapter #1

Bab 1. Petuah Bijak Sang Nelayan

Kisah fiksi ini mengambil beberapa alur cerita, tempat, dan tokoh nyata pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Jakarta, 2024

Kisah tak biasa, namun pantang menyebutnya luar biasa. Tentang bumi Melayu merana berselimut kabut gelap, padahal nun jauh di atas sana, angkasa merona berhias bintang gemerlap.

Kau akan menemukan rasa yang seharusnya tak hadir bersamaan. Bukankah “bangga dan malu” atau “bahagia dan marah” tak mungkin mengisi hati pada waktu yang sama? 

Kisah ini kutulis dari cerita laki-laki tua yang menuturkan pengalaman masa lalunya. Sebagian perjalanan hidupnya kutemukan tercatat dalam buku sejarah, sebagian lainnya yang tidak tercatat, juga menyisakan jejak nyata yang bisa kita telusuri. Namun, sayangnya nama orang tua itu tidak mungkin kau temukan dalam buku sejarah. 

Awalnya aku kecewa pada para penulis sejarah. Namun, setelah dia usai bercerita, kupikir memang sebaiknya begitu.

*****


Sumatera Timur, 1923

Sungai Secanggang 

Menanggalkan pucuk sauh, terapung tinggalkan tepi. 

Malam tampak menjauh, tapi pagi masih menanti. 

Sampan melaju pelan menyusuri Sungai Secanggang. Di atasnya, nelayan tua bersama bocah belia menuju laut lepas. Warga Kampung Secanggang biasa memanggil nelayan itu Atuk1 Deroen.

Bukan hendak kejam, tapi sekadar memberi bekal. Atuk Deroen memang biasa mengasah mental cucunya yang sejak masih merangkak telah yatim piatu. 

Bukan hendak lancang mendahului garis nasib pula, tapi meniti hidup tentu harus berhitung. Atuk Deroen juga merasa usianya telah mendekati ujung senja. 

Bila masa usai untuk Atuk Deroen, sehingga mata mengatup, bibir mengetam, dan tubuh terbujur kaku, dia berharap cucunya yang masih hijau mampu sematang laki-laki dewasa untuk menjalani hidup sebatang kara.

Bukan dukun, apalagi tukang tenung, hanya insan tekun, penyingkap rahasia terselubung. Atuk Deroen dianggap “orang pintar”. Banyak orang datang minta bantuannya agar cepat bertemu jodoh, sembuh dari penyakit, meramal nasib, hingga hal-hal lain yang tak masuk akal, padahal dia tak suka hal klenik. Atuk Deroen lebih suka diperlakukan sebagaimana mestinya nelayan biasa.

Berkelok-kelok Sungai Secanggang, 

Sampan tersangkut bila tak paham.

Saat gelap sulit memandang.

Nyalakan lampu lawan temaram.

Atuk Deroen mengayuh sambil melantunkan nada sembarang, menyuarakan pantun untuk menenteramkan hati cucunya yang duduk di bagian depan sampan, kendati bocah bernama Irwansyah itu tampak tenang. Ia menikmati sensasi nuansa hutan gelap yang terbelah oleh sungai dan suara-suara asing penghuninya. 

Kayuh digenggam membelah air.

Terdengar syahdu memecah sunyi. 

Nelayan tua lantunkan syair.

Hati yang sendu bawa bernya….

Suara benturan air yang tak seirama dengan putaran kayuh membuat Atuk Deroen berhenti bersenandung. Matanya menyipit mengawasi air sungai yang terjangkau cahaya. Tampak garis-garis riak air bergerak melawan arus menuju sampan. Tiba-tiba seekor buaya besar muncul mendongakkan kepala ke atas permukaan sungai. 

Sungguh tajam taring yang dipamerkan, tetapi kedua insan di atas sampan tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Atuk Deroen malah bersenandung lagi sambil menepuk-nepuk pelan sisi sampan, sementara Irwansyah memandangi buaya itu seolah hanya berjumpa dengan batang pohon terapung. Buaya itu memang mendekat tetapi tak mengganggu, seolah sekadar ingin memastikan siapa yang melewati wilayah kekuasaannya. 

Tersebut sudah dalam hikayat.

Laksamana Hang Tuah setia amanah.

Menjunjung harkat juga martabat.

Jangan Melayu buang zuriat 

*****


Laut Selat Malaka

Lepas dari muara, laut menyambut. Kayuh tak lagi mampu menyorong, layar dikembangkan. Atuk Deroen berdiri membaca langit sambil mengarahkan layar, angin pun menghembus sampan ke tengah laut. Sepanjang berlayar, Atuk Deroen menjelaskan kebiasaan nelayan melaut, sementara Irwansyah hanya diam mendengar. Sampai di bagian laut yang dituju, Atuk Deroen menguncupkan layar. 

“Atuk tengok sejak awal, kau tak ade sekalipun cakap. Risau?”

“Ape nak2 Irwan cakap, Tuk? Sejak awal semue nampak gelap.”

Atuk Deroen tersenyum. “Irwansyah, bile dunie sedang begitu gelap, jangan terikut suasane, buatlah atau cari cahaye yang dapat jadi penuntun. Tengoklah tu angkase, gelap malah membuatnye lebih jelas hingge begune sebagai penunjuk arah.” 

“Tapi, Tuk, bile turun hujan, angkase pun gelap.”

“Itulah sebab kite patut memohon perlindungan Allah. Semue Die yang mengatur, minte supaye alam mau bekawan.”

“Lalu bile Allah tetap nak menurunkan hujan?”

Atuk Deroen tersenyum. “Sekalipun badai yang diturunkanNye, tak kan mungkin Allah salah berhitung.”

“Tenggelamlah kite ni, Tuk.” 

“Bilepun ade orang baik dan soleh yang mati terhempas badai, berarti Allah rindu, nak segere mengganjar amal baiknye. Sekalipun nampak sengsare di dunie, Insya Allah beruntung di akhirat.” 

“Atuk, ape Tuhan marah bile Irwan nak beruntung di dunie dan akhirat?”

“Tidaklah, due-due boleh kite cari, tapi tujuan utame harus tetap akhirat.”

“Ape sebab, Tuk?”

“Karene jatah hidup kite di dunie singkat, tak sebanding dengan akhirat.” Atuk Deroen memandangi wajah Irwansyah bagai akan segera berpisah. “Rasanye cam baru kemarin aku menimang mendiang abahmu. Lalu, cam hanye mengedip mate, die menyerahkan engkau untuk aku timang. Cucuku sayang…selepas engkau menutup kain putihku, teruskanlah marwah sebagai pembawe maslahat.”

Lihat selengkapnya