Istana Darussalam dan Darul Aman, Langkat, 1937
Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah18 dari Kesultanan Langkat baru saja menikahkan putrinya, Tengku Puteri Kamiliah, dengan Tengku Amir Hamzah,19 seorang bangsawan Langkat, beberapa hari yang lalu. Hingga hari ini, Istana Langkat masih ramai dengan para tamu. Beberapa dari mereka yang ingin berkeliling melihat istana diantar oleh bangsawan Langkat.
Kesultanan Langkat memiliki dua istana yang berseberangan, terpisah oleh jalan raya Tanjung Pura: Istana Darul Aman dan Istana Darussalam.
Istana Darul Aman didirikan oleh Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah.20 Istana ini mengusung gaya arsitektur Timur Tengah dengan ciri khas serambi melingkar yang diapit dua menara berkubah.
Istana Darussalam didirikan oleh Sultan Abdul Aziz21, ayah dari Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah. Istana ini menggabungkan gaya arsitektur Tiongkok dan Melayu dengan ciri khas pagoda. Bagian belakang istana terdapat pelabuhan kecil untuk kapal-kapal yang hilir-mudik di Sungai Batang Durian.
Kesultanan Langkat juga memiliki hubungan erat dengan kampung religius Babussalam. Wilayah ini diberikan oleh Sultan Musa kepada Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsabandi,22 yang lebih dikenal dengan nama Tuan Guru Besilam. Kampung yang sering dikunjungi Irwansyah sewaktu kecil.
Di ruang utama Istana Darussalam, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah menjamu para tamunya, sementara Tengku Amir Hamzah berdiskusi dengan beberapa pemuda di bagian belakang istana.
Tengku Amir Hamzah baru saja kembali ke Langkat setelah merantau di Pulau Jawa. Dia adalah sosok pemuda cemerlang yang telah dinobatkan sebagai putra mahkota yang akan menggantikan Sultan setelah mangkat. Di Jawa, Tengku Amir Hamzah aktif dalam organisasi Jong Sumatra, yang turut berperan dalam Sumpah Pemuda, serta menjadi penulis majalah sastra Poedjangga Baroe.
Tengku Amir Hamzah adalah seorang bangsawan yang mendukung dan berjuang untuk cita-cita kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya yang paling menonjol adalah upayanya untuk merekatkan bangsa melalui bahasa. Ia berusaha mengubah kebiasaan kaum terpelajar yang biasa menggunakan bahasa Belanda, agar lebih mengutamakan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu. Sebelumnya, bahasa Melayu memang menjadi bahasa pergaulan antar bangsa di kawasan perdagangan penting Asia Tenggara.
Beberapa pemuda bangsawan, termasuk Irwansyah, duduk bersila mendengarkan cerita pengalaman Tengku Amir Hamzah selama di Pulau Jawa.
“Begitulah soal yang Abang tahu tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bila mungkin, Abang ingin selekasnya kembali ke tanah Jawa,” ujar Tengku Amir Hamzah.
“Bang Busu23 baru sekejap kembali setelah lame merantau. Maaf cakap, Bang, menurut awak, negeri Melayu ni pun butuh kehadiran orang hebat seperti abang,” sahut Irwansyah.
Tengku Amir Hamzah tersenyum sambil memandangi wajah para pemuda yang mengelilinginya. “Segala kupinta tiada kau beri. Segala kutanya tiada kau sahuti. Butalah aku terdiri sendiri. Penuntun tiada memimpin jari.”24
“Ape tu maksudnya, Bang?” tanya Irwansyah.
“Kutipan puisiku. Banyak hal yang sulit Abang ceritakan saat ini. Kaki ini bak terikat, lalu ditarik dari dua sisi berlawanan. Dunia sangatlah luas, semakin jauh melangkah, semakin luas pula pandangan kita. Luaskanlah pandangan kalian, terutama Irwansyah, Abang lihat kau punya potensi besar.”
“Baik, Bang,” jawab Irwansyah.
Suara peluit kapal barang dari pelabuhan di belakang istana terdengar.
“Nampaknye kapal barang telah merapat. Ape kau jadi nak meninjaunye, Irwansyah?” tanya Tengku Usman pada Irwansyah.
“Bile Bang Busu mengizinkan,” sahut Irwansyah.
“Tentu boleh, tapi sayangnya, Abang tak bisa menemani. Banyak tamu lain yang belum Abang temui,” ujar Tengku Amir Hamzah.
“Biarlah awak yang menemani anak-anak Tengku Rasyid ni,” pinta Tengku Usman.
“Terima kasih Bang Usman,” sahut Tengku Amir Hamzah.
*****
Pelabuhan Istana Darussalam
Tengku Usman, Tengku Sani, dan Irwansyah berdiri di pelabuhan, memandangi para kuli angkut yang sibuk memindahkan barang dari kapal ke dalam gudang istana.
“Macam tak habis-habis hasil alam yang diturunkan dari kapal. Betape Allah telah memberi nikmat kelapangan rezeki, tapi sayang kite mengolahnye bersame Belande, bangse penjajah,” ujar Tengku Sani.
“Itulah tadi yang dirisaukan Bang Busu. Kedekatan kite pade Belande bak makan buah simalakame. Melawan salah, tak dilawan pun salah. Belakangan ni, Abang banyak mendengar suare-suare sumbang,” sahut Tengku Usman.
“Maaf cakap, Bang Usman. Sebaiknye bile ade pihak yang berselisih, mereke harus duduk bersame. Penguase patut mendengar orang yang bersuare sumbang, orang-orang tu pun patut mendengar pandangan penguase. Menurut awak, melawan Belande, sudahlah tak mungkin menang, bise membuat semue sengsare pule. Orang Melayu dah hidup damai dan sejahtere,” ujar Irwansyah
”Kite damai dan sejahtere, tapi tengoklah kuli-kuli tu, Wan! Walaupun hanye pendatang yang dibawe Belande dari jauh. Ape mereke tak layak menikmati kemakmuran?” tanya Tengku Sani.
“Memang tak banyak keturunan kuli yang seberuntung aku. Tapi, Atukku yang miskin justru bilang, adil bukan semue dapat same rate. Tuhan pun sengaje membuat perbedaan agar kite saling menolong. Menurutku, sepanjang kesultanan tak zalim, tak membiarkan rakyat bodoh, kelaparan, serte adil menegakkan hukum tanpe pandang bulu, make kewajibannye sebagai penguase sudah terlaksane,” jawab Irwansyah.
“Meyakinkan orang-orang yang bersuara sumbang, tak akan semudah itu, Wan! Yang mereke tahu, kuli diperah Belande, kite tidak,” sahut Tengku Sani.
“Sudahlah, Abang tak nak membuat kelian berselisih karene cakap Abang,” ujar Tengku Usman.
Tengku Sani dan Irwansyah tersenyum.
“Maaf, Bang. Kami memang biase perang mulut, tapi tak pernah kami ambil hati, apelagi hingge sampai berselisih,” ujar Irwansyah.
“Betul, Bang. Kami tak pernah ambil hati, karene Irwansyah selalu kalah.”
“Mengalah, maksud Sani sebetulnye, Bang.”
Tengku Usman tertawa. “Oh, iye. Abang dengar, kelian nak lanjut sekolah ke Belande?”
“Itu keinginan Entu Rasyid, sebetulnye kami berdue tak ade yang nak ke Belande,” sahut Tengku Sani.
“Baguslah pemikiran entumu, biar anak-anak Melayu tak macam katak dalam tempurung. Kenape kelian tak nak?” tanya Tengku Usman.
“Awak tak suke tinggal di negeri yang tiade kumandang adzan, iman awak ni masih seujung kuku, Bang,” jawab Tengku Sani.
“Tapi orang sepandai kelian, sayang betul bile tak memanjangkan langkah,” ucap Tengku Usman.
“Belum selesai cerite awak, Bang, hehe. Awak dah cakap pade Entu, keluarge Tengku Rasyid harus seimbang. Sani menuntut ilmu agame di Al Azhar, Irwansyah menuntut ilmu dunie di Leiden,” ujar Tengku Sani.
Tengku Usman tertawa. “Sani pulak yang mengatur. Kau setuju, Wan?”
“Anak kandung entu ni memang sok kuase. Bile boleh menentukan pilihan, awak lebih suke jadi guru di Langkat, Bang, tapi entu jadi marah pulak,” jawab Irwansyah.
“Orang-orang pandai harus belajar ke pusat ilmu, bile perlu dipakse, biar negeri ni mampu menjangkau langit, tanpa Belande. Para bangsawan sering bicare, di masa depan Sultan Deli berharap Sani mengurus tembakau Deli, Sultan Langkat berharap Irwan mengurus minyak Langkat. Tengku Rasyid beruntung memiliki anak-anak hebat,” puji Tengku Usman.
Suara klakson terdengar dari kejauhan, mobil Tengku Usman berjalan pelan menuju pelabuhan.
“Akak kelian nak menjemput Abang,” kata Tengku Usman sambil melambaikan tangan.
Mobil berhenti, Tengku Usman menghampiri. Di belakang sopir ada istri Tengku Usman, Tengku Farida, dan adik istrinya, Tengku Farisya.
“Dek, ajak Farisya keluar, Abang nak kenalkan pade pemude-pemude hebat,” bisik Tengku Usman pada istrinya.
Tengku Farida mengajak Tengku Farisya, lalu mereka keluar dari mobil.
“Oh, anak-anak Wak Rasyid. Ini adek Akak, namanye Farisya,” ujar Tengku Farida.