Penang Hospital, Penang, Malaysia, 1990.
Pagi ini aku kembali menjenguk Atuk Irwansyah. Aku menemukannya tidur pulas sendirian di kamarnya, sehingga aku mengisi waktu dengan membaca buku-buku yang kubawa untuknya. Tiba-tiba terdengar ucapan salam dan ketukan pintu dari luar.
Aku bergegas membuka pintu. “Waalaikumussalam.”
“Rizal?”
“Fania?”
Aku dan Fania terpaku. Sesaat kemudian Fania langsung masuk dengan wajah marah. Aku menyusulnya.
“Fan, kamu cucunya Atuk Irwansyah?” tanyaku canggung.
Fania tidak mengacuhkan, dia langsung memeluk Atuk Irwansyah yang telah bangun dan duduk di ranjangnya.
“Fania, kenalkan, ini ….”
“Fania sudah kenal orang ini, Tuk.”
*****
Aku dan Fania duduk berdua di kantin rumah sakit untuk menyelesaikan masalah.
“Maafkan aku, Fania,” ucapku.
“Udah enggak penting, Zal. Udah 5 tahun yang lalu kejadiannya. Kamu kan bilang maaf, karena enggak sengaja ketemu di sini,” sahut Fania ketus sambil menatapku tajam.
“Seenggak-enggaknya izinin aku ngejelasin. Aku punya alasan, kenapa mendadak ninggalin kamu dan menghilang tanpa kabar.”
“Aku udah tahu. Kamu emang selalu minder soal kesenjangan ekonomi kita, selalu ngerasa enggak punya masa depan. Alasan bijaksana banget buat ninggalin aku gitu aja. Cuma itu kan yang mau kamu jelasin?”
Aku diam karena memang tidak punya alasan lain. Tatapan Fania seolah pisau yang ingin menusuk orang yang telah menyakiti hatinya.
“Zal, masalah kamu itu sebetulnya bukan ekonomi, tapi sombong! Setiap bantuan dari aku atau sahabat kamu, pasti kamu tolak. Oke, harga dirimu yang tinggi itu berasa jatuh kalo terima bantuan uang. Aku coba cara lain dengan bukain jalan, mau ngenalin relasi yang bisa ngasih kerjaan atau pinjaman modal usaha, semuanya kamu tolak. Manusia sombong!”
Aku dan Fania sama-sama diam agak lama.
“Jangan memonopoli kebaikan, Zal. Kamu sendiri selalu ngebantu siapa aja yang butuh bantuan. Apa salahnya gantian? Kasih juga dong kesempatan orang lain ngebantu kamu.”.
“Iya, aku salah, aku udah sadar terlalu sombong waktu itu. Aku minta maaf.”
Fania diam.
“Fan, aku kangen banget sama kamu,” ujarku.
Wajah Fania masam. Ia memalingkan mukanya dari tatapanku.
“Aku harap saat ini kamu masih sendiri. Apa harapanku itu terlalu besar, Fan?”
“Apa urusannya?”
“Karena aku enggak mungkin melamar perempuan yang sudah bersuami untuk jadi istriku,” jawabku.
Wajah Fania semakin masam. Dia masih tidak mau menatapku, tetapi malah terlihat jelas sedang menyembunyikan perasaan rindunya.
“Aku serius, Fan. Alhamdulillah, semakin umur bertambah, kematangan berpikir dan kondisi ekonomiku udah lebih baik. Aku siap untuk melamar kamu.”
“Kenapa kamu enggak pernah cari aku?” tanya Fania ketus.
“Siapa bilang? Aku berjuang di sini, jauh di negeri orang dan butuh waktu untuk mencapai tujuanku. Setelah terpenuhi, aku pulang cari kamu berkali-kali.”
Fania menggeleng, tampak tidak percaya.
“Fania, keluarga kamu udah pindah dari Kemang sejak 4 tahun yang lalu, kan? Orang bule yang beli rumah kamu itu enggak punya alamat baru kamu. 3 bulan yang lalu aja, aku masih mampir. Aku punya nomor telepon rumahnya, tanya aja, dia bosen enggak ditelpon orang yang ngarep penghuni lama mampir ngasih alamat?”
Fania hampir tersenyum. “Siapa suruh ninggalin aku tanpa kabar?”
“Iya, aku salah, maaf.”
Fania diam tetapi wajahnya mulai melunak.
“Kulihat sih enggak ada cincin di jari manis kamu, berarti ….”
“Bukan pasti berarti sendiri!”
Aku tersenyum. “Iya, tapi berarti masih ada kesempatan memilih yang terbaik.”
“Betul. Kesempatan menjelaskan alasan udah aku kasih, sekarang aku mau balik ke kamar Atuk.”
“Sebentar, Fan. Kamu sayang sama Atuk Irwansyah?”
“Apa hubungannya Atuk sama urusan kita?”
“Kami udah sehati, kayaknya beliau juga mau ngejodohin kita. Kamu tahu enggak pepatah kuno? Cinta ditolak, calon kakek mertua bertindak.”
“Enggak lucu! Kamu tuh manusia paling nyebelin, tau enggak? Udah, aku males ngomong sama kamu!”
Fania pergi meninggalkan aku, tetapi aku sempat melihat rona merah bahagia walaupun matanya masih berkaca-kaca.
Sepulangnya kami bertiga dari rumah sakit, Aku tetap mengunjungi Atuk Irwansyah untuk mendengar ceritanya di apartemen yang dia sewa. Fania masih menjaga jarak padaku, tetapi aku sudah cukup bahagia, karena dia selalu ikut mendengar cerita Atuk Irwansyah.
****
Rumah Tengku Rasyid, Medan, 1938
Keluarga Tengku Rasyid dalam suasana berbahagia. Beberapa hari yang lalu, Tengku Sani dan Tengku Aisyah baru saja menikah. Saat ini Keluarga Tengku Rasyid sedang makan malam bersama di rumah.
Tengku Sani dan Irwansyah telah selesai makan, Tengku Aisyah segera mendekatkan mangkok cuci tangan dan serbet untuk suaminya.
“Makasih, Dek Aisyah.” Tengku Sani menatap Irwansyah. “Ku ajak bersanding berempat tak mau. Gigit jarilah.”
Irwansyah menggeleng-gelengkan kepala.
“Eh, Wan, mulai malam ni kau panggil aku Abang, karene aku dah lebih dulu menikah, paham?” tanya Tengku Sani.
“Paham Abangku,” sahut Irwansyah.
Tengku Rasyid dan istrinya tertawa.
“Masih ade waktu, Wan. Mau kite pinang Farisya sebelum kau berangkat ke Belande?” tanya Tengku Rasyid pada Irwansyah.
“Ha! Apelagi?” canda Tengku Sani sambil menepuk meja.
“Nanti dulu, kite pun belum tahu, memangnye Farisya dah nak jadi kekasihmu?” tanya istri Tengku Rasyid pada Irwansyah.
Tengku Sani memotong. “Sudahlah, Mak, tapi adek lajangku ni memang gemar kali menimbang, dah macam pemilik kedai emas.”
“Betul, Wan?” tanya Istri Tengku Rasyid pada Irwansyah.
“Betul, Mak,” jawab Irwanysah.
“Alhamdulillah,” sahut istri Tengku Rasyid.
“Ha! Apelagi? Entu dan Emak dah merestui, Wan. Lekas tentukan tanggal, kapan kau nak kami antar?” desak Tengku Sani.
“Ramai betul kicau burung di sebelah awak ni.” Irwansyah menutup mulut Tengku Sani dengan serbet. “Bukan Irwan tak nak, tapi abang awak ni baru saje menikah, manalah elok bile tak berjarak.”
“Tak soal,” komentar Tengku Rasyid.
“Ha!” reaksi Tengku Sani.
“Diam kau, San, kujejalkan pulak tulang ikan ni ke mulutmu,” ancam Irwansyah pada Tengku Sani.
Semua tertawa.
“Lagi pule, pikiran Irwan harus tertuju hanye pade sekolah bile ingin cepat selesai. Sudah tu kami pun bise menikah,” ujar Irwansyah.
“Niatmu bagus, Nak. Tapi jangan lupe, perempuan macam Farisya pasti banyak yang nak meminangnye. Emak tak nak kau menangis sepulang dari Belande.”
“Farisyanye pun dah setuju menunggu Irwan,” jawab Irwansyah.
“Farisya nak menunggu, lalu Tengku Hasyim dan bininye cemane? Orang tue tu lebih bijak menimbang resiko,” sahut istri Tengku Rasyid.
Irwansyah diam tidak punya jawaban.
“Sudahlah. Jodoh, maut, rezeki, Allah yang mengatur. Bile anak kite nak menikah dulu, nikah. Bile nak sekolah dulu, sekolah,” sahut Tengku Rasyid.
Istri Tengku Rasyid berdiri, lalu mengusap bahu Irwansyah. “Bukannye nak membuat kau berkecil hati. Selagi masih ade waktu, pikirkanlah baik-baik, apepun keputusanmu, keluarge tentu mendukung. Yang penting kau yakin tak kecewa, terlebih jangan mengecewakan hati perempuan yang menunggumu. Emak hanye bise mendoakan anak-anak,” ujar istri Tengku Rasyid.
“Baik, Mak, Insya Allah,” jawab Irwansyah, lalu memeluk ibu dan ayah angkatnya sambil menangis. “Terima kasih atas segale perhatian Emak dan Entu pade Irwan,”