Universiteit Leiden, Netherlands, 1939
Telah setahun Irwansyah menetap di Belanda, di negeri yang membangun sepertiga wilayahnya di dataran rendah atau di bawah permukaan laut, sehingga banyak bendungan, kanal-kanal besar dan kincir angin, yang berfungsi memompa air dari dataran rendah untuk kembali ke sungai di atas tanggul, supaya tanahnya bisa ditanami.
Beberapa hal lain di negeri Belanda tidak terlalu asing buat Irwansyah, karena di kota Medan juga banyak orang-orang Belanda dan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Belanda, bedanya di sini tentu jauh lebih banyak. Perbedaan yang lebih terasa menurutnya adalah agama, budaya, gaya hidup, makanan dan suhu udaranya yang sangat dingin.
Irwansyah menimba ilmu hukum di Universiteit Leiden, kampus tertua di negeri ini dan paling diminati di Eropa, telah melahirkan banyak cendekiawan seperti René Descartes, Rembrandt, Christiaan Huygens, Hugo Grotius, Baruch Spinoza dan sebagainya, termasuk raja-raja dan ratu-ratu Belanda.
Kampus yang berada di kota Leiden ini juga pernah melahirkan organisasi Perhimpunan Indonesia atau Indische Vereeniging di tahun 1908, organisasi pergerakan melawan kolonialisme. Salah satu tokohnya adalah Mohammad Hatta54. Kata teman-teman Irwansyah, mereka melakukan aktivitasnya di asrama milik Ahmad Soebardjo55.
Persis seperti yang sering dibahas Irwansyah dengan Tengku Farisya, saat ini negara-negara di Eropa dari kubu sekutu memang sedang kuatir dengan peningkatan pesat militer Jerman, negara yang mereka kalahkan pada masa berakhirnya Perang Dunia I, tetapi Belanda tetap merasa aman karena berada di posisi netral. Pemerintah Belanda pun masih menjalankan aktivitas secara normal, itulah sebab pihak keluarga Irwansyah dan kesultanan tetap mendorong Irwansyah untuk bersekolah di Belanda.
Di Leiden, Irwansyah tinggal di salah satu asrama mahasiswa, pada kawasan yang banyak dihuni orang-orang dari negeri-negeri jajahan Belanda atau Hindia Belanda.
Di asrama, Irwansyah lebih banyak menyendiri menghabiskan waktu dengan pena, mesin ketik atau buku, padahal para mahasiswa Hindia Belanda lain senang berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok sepemikiran. Dia tidak tertarik bergabung karena sejak di tanah air sudah berniat fokus pada kuliah, ingin cepat selesai dan segera pulang.
Di kamar asrama, Irwansyah sekamar dengan Salim dan Amin.
Salim anak saudagar kaya raya. Dia lahir di Padang dan besar di Batavia. Pemuda yang mudah berbaur dengan para mahasiswa keturunan bangsawan Eropa. Walau masih berstatus mahasiswa, Salim telah mulai merintis bisnis pabrik sepatu di Belanda.
Amin anak seorang jaksa. Dia lahir dan besar di Surabaya, sempat pula sekolah di Medan karena ikut ayahnya yang bertugas menjadi jaksa tinggi untuk pemerintah Hindia Belanda di kota tersebut. Amin sebenarnya ingin kuliah di Communist University of the Toilers of the East, Moscow, tetapi ayahnya tidak mengizinkan.
Salim dan Amin tak henti-hentinya perang mulut karena berbeda pendapat. Mereka memang bagai dua kutub dunia yang tidak mungkin bersatu, tetapi anehnya selalu bersama.
Amin sering ikut kegiatan Salim, begitu pula sebaliknya, biasanya setelah itu mereka bertengkar saling mengejek di kamar asrama. Irwansyah sudah biasa mendengar kegaduhan mereka, sehingga menjadikannya sebagai hiburan di sela-sela waktu belajar.
Malam ini Salim dan Amin baru saja pulang dari acara mahasiswa Belanda. Seperti biasa, mereka pasti menjumpai Irwansyah yang hanyut dengan pena, mesin ketik atau buku di kamar asrama.
“Hey, Bung! Aku bingung, betah sekali kau di kamar. Rugi kau! Di acara tadi banyak gadis Belanda menanyakanmu,” ujar Salim sambil membuka jasnya, lalu memandangi wajahnya di cermin untuk merapikan rambutnya yang klimis.
“Ah, untunglah kau tak ikut, Bung! Untuk apa pura-pura menikmati pesta dansa-dansi kaum borjuis? Kebanyakan basa-basi, kalau cuma mau menunggangi kuda putih. Buktinya kita pulang dengan tangan kosong,” gerutu Amin sambil menghempaskan badannya ke kursi.
Salim tertawa. “Tangan kosong? Ya, kita memang gagal membawa pulang gadis mabuk, tapi seorang pemilik pabrik mesin jahit menawarkan kerjasama padaku.” Salim melempar kartu nama pemilik pabrik mesin jahit ke meja. “Bung Irwan, kalau kau sering menghadiri acara mereka, maka kau bisa dekat dengan anak-anak orang berpengaruh di Belanda.”
Irwansyah menanggapi dengan senyum, lalu kembali menatap buku.
“Kau salah, Lim. Irwan malah selalu didekati anak-anak orang berpengaruh tanpa perlu dansa-dansi sepertimu,” sanggah Amin sambil membakar cerutu.
“Ya, kutu buku akan mencari sesama kutu buku.” Salim ikut membakar cerutu. “Kampus itu bukan cuma tempat belajar, kita juga bisa memanfaatkannya untuk mencari kolega dagang.” Salim melirik sampul buku yang dibaca Irwansyah. “Karl Marx56? Oh, ternyata anda juga sudah berada di kiri, Bung?”
Irwansyah tersenyum. Amin ikut melirik sampul buku yang dibaca Irwansyah.
“Differenz der demokritischen und epikureischen Naturphilosophie. Orang-orang cerdas berdarah pejuang memang pasti akan bertemu dengan ideologi yang sesuai,” ujar Amin bangga.
“Berdarah pejuang? Mungkin maksudmu, orang-orang berdarah panas, hahaha. Gara-gara kader-kader ISDV57 bikin rusuh, gerakan pejuang di negeri kita dipersempit oleh Belanda,” ledek Salim.
“Bikin rusuh? Itu revolusi, Bung! Memangnya kau, orang berkulit gelap yang mimpi di siang bolong berharap dianggap orang Belanda, hehe. Tak heran jika sudut pandangmu selalu condong pada ideologi kaum kapitalis,” balas Amin.
Salim memandangi wajahnya lagi di cermin sambil meraba wajahnya. “Aku tak pernah mimpi jadi orang Belanda, mimpiku jadi salah satu orang terkaya di Belanda. Justru kau, Min. Orang kulit gelap yang seharusnya ramah, tetapi malah sok kaku meniru orang Soviet. Wajahmu masammu bikin malaikat tak mau masuk rumah.”
Amin tersenyum. Salim melihat Amin dari cermin.
“Nah, begitu, sering-seringlah tersenyum. Tunjukan sifat asli bangsa kita.” Salim memandangi sambil mengusap wajahnya sendiri di cermin. “Oh, iya, kau pun tak usah tempelkan ideologi pada orang yang anti terikat ideologi, terlebih lagi ideologi tak produktif yang kau anut. Apa untungnya? Hehe,” balas Salim.
“Selalu tentang untung-rugi. Kau memang terlahir sebagai seorang kapitalis, tanpa perlu dipengaruhi, bahkan belajar dari para pemikir ideologi kapitalis.”