Ambang Senja

indra wibawa
Chapter #16

Bab 14. Penantian

Sumatera, 1944

Yano Kenzo mengundurkan diri pada tahun 1944, karena bersimpati pada rakyat yang ingin merdeka dan menentang kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pandangannya. Sebagaimana ucapannya pada Irwansyah, bahwa kelak dia ingin menjadi dirinya sendiri.

Hattori Naoaki181 menggantikan posisi Yano Kenzo sebagai Gubernur Sumatera Barat. Hattori Naoaki seorang yang sangat hati-hati, sehingga tidak melanjutkan berbagai kebijakan Yano Kenzo yang menguntungkan Irwansyah.

Sejak saat itu Syam dan kelompoknya berhasil menyusup di pemerintahan Jepang lagi, atas dukungan Kenichi.

*****


Rumah Tengku Hasyim, Langkat

Syam yang pernah sakit hati karena pinangannya ditolak Tengku Farisya kembali mendatangi rumah Tengku Hasyim, ia ingin menyelesaikan hasrat lamanya lagi.

“Pak Hasyim, ini adalah pinangan saya yang terakhir kali. JIka saya pulang dengan tangan hampa, tentulah saya tidak bisa menjamin keselamatan keluarga Bapak,” ancam Syam.

Wajah Tengku Hasyim memerah. “Oh, kau jangan mengancamku!”

“Saya tidak mengancam. Asal Bapak tahu, rakyat sangat membenci kaum bangsawan. Saya justru kuatir rakyat melakukan kekerasan, tapi jika saya jadi menantu Pak Hasyim, saya jamin tidak ada seorang pun yang berani mengganggu keluarga Bapak,“ ujar Syam.

“Itu bukan rakyat Melayu! Itu orang-orangmu yang memang suke melakukan kekerasan!” sahut Tengku Hasyim.

Syam tertawa. “Sudahlah, siapapun itu, intinya seorang ayah harus memikirkan keselamatan keluarganya. Kebetulan saat ini hanya saya yang mampu memberikan itu.”

“Keluargaku adalah tanggung jawabku! Tidak mungkin seorang ayah mau menyerahkan anaknya pada orang jahat!” ujar Tengku Hasyim.

“Oh, ya? Bukankah para bangsawan biasa menjual diri untuk penjajah? Apa bedanya jika kali ini Bapak menjual anaknya demi keamanan dan kesejahteraan keluarga?”

Plak! 

Tengku Hasyim menampar Syam hingga tersungkur.

“Tak perlu kau menggunakan tangan orang lain untuk melakukan kekerasan! Farisya! Ambilkan dua parang untuk kami!” teriak Tengku Hasyim.  

Tengku Farisya dan istri Tengku Hasyim yang bersembunyi sambil mengintip dari dalam kamar terlihat cemas.

Syam tampak takut. ia segera berdiri walau pipinya masih terasa sakit. “Sabar, Pak Hasyim.“

“Kau laki-laki! Jangan cume mulutmu yang besar! Kutantang kau berhadapan dengan adil beradu parang!”

Syam memang pengecut, dia malah lari menuju serambi rumah.

Kebetulan Tengku Sani datang. Ia baru saja memarkir mobilnya di halaman rumah Tengku Hasyim. 

Syam panik, karena posisinya terjepit, ia pun memilih lari menuju Tengku Sani, ketimbang menghadapi Tengku Hasyim yang memegang parang. Tengku Sani segera mencengkram kerah baju Syam agar tidak lari. 

Tengku Hasyim menuruni tangga rumah panggungnya, lalu menancapkan kedua parang di tanah.

“Sabar, Wak. Ade ape rupenye?” tanya Tengku Sani.

“Tahu kau siape manusie tu?” tanya Tengku Hasyim.

Tengku Sani memandangi Syam. “Syam!”

“Betul! Aku nak menantangnye beradu parang, satu lawan satu!” ujar Tengku Hasyim.

“Biarkan saya pulang! Jika terjadi sesuatu pada saya, maka tentara Jepang akan menangkap kalian!” ancam Syam.

“Oh, nak mengancam? Kenalkan, namaku Sani, saudare dari Irwansyah, orang yang telah kau buat hilang, sehingge tak seorangpun tahu, die masih hidup atau mati.”

“Saya tidak kenal dengan saudaramu,” sahut Syam.

Tengku Sani meninju Syam hingga tersungkur.

“Kalimatmu tak bise dipegang. Ape yang kau buat pade saudareku?” tanya Tengku Sani.

“Maaf, Bang Sani, saya memang kenal, tetapi tidak tahu apa-apa soal bagaimana dia bisa hilang,” bujuk Syam.

“Kau nak kite saling bunuh dengan tangan kosong atau same-same menggunakan parang wak Hasyim, biar lebih cepat?”

“Maafkan saya, Bang! Tolonglah, Bang! Itu ulah orang Jepang! Bukan aku!” ratap Syam.

“Bangkit!”

Karena Syam tidak mau bangun, Tengku Sani menyeret Syam sehingga berdiri kembali

“Kau pandai menghasut orang-orang, sehingge biase beramai-ramai menginjak orang tak berdaye. Saat berhadapan satu lawan satu, kau tak malu terus meratap minte belas kasihan. Ayo lawan aku!”

“Ampun, Bang.”

Tengku Sani mendorong Syam untuk memberi jarak kembali, lalu maju sambil meninju pelipis Syam hingga tersungkur lagi.

Tengku Sani mengambil salah satu parang yang tertancap di tanah. “Lekas ambil parang yang satu tu!” 

“Ampun, Bang, ampun. Saya mohon. Saya berjanji tidak akan datang ke sini lagi,” ratap Syam saat melihat Tengku Sani kembali menghampirinya dengan membawa parang.

“Aku tak akan mengampunimu! Kalau kau tak mati, negeri ini tak kan pernah tentram. Ambil parang tu!” 

“Tidak mau, Bang. Ampun!”

“Kau ambil atau tidak, aku tetap akan membunuhmu! Ambil!” 

Syam menangis. “Saya memang punya banyak salah pada negeri Abang, saya sangat menyesal, Bang. Saya takut mati.”

Tengku Sani mengayun parangnya. Syam pun menjerit. 

Tengku Hasyim menahan tangan Tengku Sani, berharap bisa mencegahnya. Untungnya Tengku Sani sangat menghormati Tengku Hasyim, sehingga ia mau menahan bagian tajam parang yang hampir mengenai leher Syam.

“Sudah, San. Sudah,” bujuk Tengku Hasyim sambil mengamankan parang yang dipegang Tengku Sani.

Duk!

Tengku Sani menendang kepala Syam, hingga terjungkal.

Syam yang sudah babak belur bersujud. “Ampun, Bang, saya berjanji … “ 

“Ah, pergilah kau sekarang, selagi Sani masih mau mendengarku,” usir Tengku Hasyim pada Syam.

Dengan tertatih-tatih Syam segera menuju mobilnya dan meninggalkan rumah Tengku Hasyim.

Tengku Sani berlutut dan melepas tangisnya di kaki Tengku Hasyim. “Maafkan Sani, Wak. Seharusnye, biarkan saje awak kepale memenggal manusie yang menggagalkan rencane pernikahan Irwan dan Farisya.”

Tengku Hasyim menarik Tengku Sani agar berdiri, kemudian memeluknya. “Aku sendiri pun hampir silap nak membunuhnye. Tapi, San, bile kau kubiarkan membunuh manusie berhati Iblis itu, bagaimane sedihnye hati anak dan binimu bile kau ditangkap atau dihukum mati Jepang?”

Istri Tengku Hasyim dan Tengku Farisya keluar dari rumah menghampiri para laki-laki itu dengan air mata berlinang.

“Maafkan Sani, Wak Puan, Farisya. Awak gagal menjadi pengganti mendiang Entu. Awak tak mampu mengantar Irwan dan Farisya menikah,” ujar Tengku Sani sambil menangis.

“Nak, kite semue dah berusahe, tapi hasil bukan kite yang menentukan,” ujar istri Tengku Hasyim.

“Wak, Awak ke sini karene tahu tentare Tuan Yano Kenzo sudah tidak menjage. Mulai hari ni awak akan mengerahkan para pemude Langkat yang pernah dilatih Irwansyah untuk menjage rumah Wak Hasyim,” ujar Tengku Sani.

Lihat selengkapnya