Penjara khusus tahanan politik, tempat tidak diketahui, April 1946
Setelah hampir 8 bulan terkurung tanpa makanan dari penjaga penjara, kondisi fisik Irwansyah sudah sangat mengenaskan. Ia mirip orang yang terkena gangguan jiwa dan telantar di jalanan. Tubuhnya sangat kurus, rambutnya panjang acak-acakan, kumis menutupi mulut, cambangnya menutupi pipi, dan janggutnya telah menjuntai menutupi leher. Ia tergeletak lemah di atas dipan dengan tatapan mata kosong.
“Kang Jajat. Aku pernah bertemu seorang seniman yang mahir membuat lagu saat masih tinggal di pasar senen,” ujar Irwansyah pelan.
“Siapa nama seniman itu?” tanya Jajat yang juga masih sanggup bicara, tetapi sangat pelan.
“Bang Maing186,” jawab Irwansyah.
“Terus?” tanya Jajat.
“Aku bercerita padanya tentang kerinduanku pada tanah Melayu dan kekasihku Tengku Farisya. Dia pun menulis syair yang indah, lalu menyanyikannya dengan nada sebagaimana lagu Melayu untukku,” ujar Irwansyah.
“Apa dia sempat memberi judul?” tanya Jajat.
“Tentu, judulnya di ambang sore,” jawab Irwansyah.
“Nyanyikan untukku,” pinta Jajat.
Sebenarnya Jajat sudah sejak kemarin tidak pernah terdengar suaranya lagi. Artinya Irwansyah bicara sendiri.
Irwansyah pun bersenandung pelan.
Dalam renunganku seorang
Di ambang sore nan lalu
Tiada bisikan tenang
Tamasya indahku bisu
Ke satu arah tertentu
Kulepaskan pandanganku
Ke tempat janji bertemu
Simpang tiga rumpun bambu
Tiap sore kunantikan
Disimpang tiga titian
Dengan debar kasih sayang
Kata mesra pengharapan
Entah apa sebabnya
Tiada khabar berita
Ujung senja kunantikan
Namun dikau tiada datang
“Indah bukan lagunya, Kang?” tanya Irwansyah usai bersenandung.
“Sangat indah,” sahut Jajat dalam alam khayalan Irwansyah.
Kehadiran musim kemarau membuat pohon pisang yang mereka andalkan mengering sehingga tidak mengeluarkan buah lagi. Begitu pula dengan ember untuk menampung air, yang juga sudah tidak menyisakan air walau hanya setetes.
“Kang Jajat, jika sebentar lagi kita dipanggil Allah, apakah perjuangan kita punya nilai pahala? Bagaimana jika mereka yang sekarang berkuasa setelah merdeka malah membuat rakyat sengsara?” tanya Irwansyah terbata-bata.
Jajat diam. Matanya terpejam, bibirnya yang kering masih melengkungkan senyuman setelah menghembuskan nafas terakhirnya kemarin.
“Kenapa Kang? … Oh, begitu. Betul, Kang … selagi nafas masih berhembus … lebih baik kita terus memohon ampunan pada Allah … Astaghfirullahaladzim … Astaghfirullahaladzim … Astaghfirullahaladzim … Alladzi laa ilaha illa huwal hayul qayum wa atubu illaih,” ucap Irwansyah seolah Jajat menjawab pertanyaannya.
*****