Ambang Senja

indra wibawa
Chapter #20

Bab 18. Kembalinya Sang Pejuang

Bekas Istana Darussalam, Langkat, April, 1946

“Ape ini yang kite dapat setelah merdeke?” komentar Irwansyah.

Irwansyah memandangi sisa istana Darussalam yang telah terbakar dengan perasaan kecewa. Asril, Asrul dan Pak Cik Bujang mengikuti Irwansyah berjalan melewati puing-puing yang hangus sambil membayangkan kengerian di tempat ini.

Irwansyah tersenyum pahit. “Mereke menyebut pembantaian besar-besaran ini dengan name Revolusi Sosial? Licik betul, membungkus aksi kebiadaban dengan istilah revolusi agar terdengar seperti aksi perjuangan. Mereke berteriak anti penjajahan pada orang asing, tapi mereka juge menyembelih saudarenya sendiri.”

Irwansyah menunduk sambil mengangkat kedua tangan memanjatkan doa untuk para korban.

“Mari kite meninjau tempat Wak Hasyim, Bang Usman dan Sani,” ajak Irwansyah.

“Kau yakin nak meninjaunye? Aku sendiri belum berani, bile menerime kenyataan yang tak kunginkan,” ujar Pak Cik Bujang.

“Pikirkan dulu, Wan. Kondisimu belum pulih betul,” saran Asril.

Irwansyah menghela nafas berat, matanya tampak berkaca-kaca. “Aku dah berserah pade Allah. Pesan mendiang Atukku, sekalipun badai yang nak diturunkanNye, tak kan mungkin Tuhan salah berhitung. Bile ade orang baik yang mati terhempas badai, itu karene Tuhan merindukannye. Allah nak menghapus dose dan nak segere mengganjar amal baiknye. Hadapi sepahit apapun kenyataan dan bertawakallah, mari kite berangkat.”

****


Langkat

Irwansyah mengunjungi Rumah Tengku Usman, Tengku Sani, dan terakhir rumah Tengku Hasyim; semuanya telah rusak. Menurut informasi dari orang-orang di sekitar rumah mereka, Tengku Usman tewas, istri dan anaknya hilang. Tengku Sani dan anggota keluarganya hilang. Tengku Hasyim tewas, istri dan anaknya juga hilang. 

Irwansyah merasa tidak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Ia duduk sambil menangis di bekas rumah Tengku Hasyim yang telah rusak. Wajah Tengku Farisya saat bercerita tentang mimpinya muncul di benak Irwansyah; ternyata kekasih Irwansyah itu telah mendapat firasat tentang kepergian Irwansyah dan kejadian di Sumatera Timur ini.

“Aku harus mampu bertanggung jawab atas ucapanku tadi. Aku sudah kehilangan segalanya, saudaraku, kekasihku bahkan negeri Melayu yang kukenal. Walau sulit, aku harus sabar dan tawakal menghadapi kenyataan ini. ”

Asril, Asrul dan Pak Cik Bujang ikut duduk di dekat Irwansyah sambil memegang pundaknya tanpa sanggup bicara.

“Bang Irwan!” panggil seorang yang pernah bekerja menjadi kuli kebun.

Lihat selengkapnya