Ambang Senja

indra wibawa
Chapter #7

Bab 6. Merantau ke Negeri Belanda - b

Irwansyah dan Tengku Farisya rutin saling surat-menyurat. Pada masa itu surat yang menyeberang antara Hindia Belanda dan Belanda perlu waktu berbulan-bulan untuk sampai. 

Biasanya surat-surat milik mahasiswa diletakkan begitu saja di kaca ruang administrasi kampus, sehingga setiap hari Irwansyah pasti melewati tempat itu, menantikan surat-surat dari keluarga atau Tengku Farisya untuknya.

Irwansyah baru saja mendapat surat dari Tengku Farisya, kini ia menulis surat balasan untuk kekasihnya di kamar asrama. 


Kekasihku, adinde Farisya sayang,

Abang sangat bangge mendengar kabar dirimu. Ternyate kini engkau selalu menemani entumu dalam mengurus kegiatan konsesi minyak kesultanan Langkat. 

Mungkin banyak perempuan bersekolah yang tak suke berpangku tangan dan berniat melakukan hal-hal bergune bagi negerinya, tapi tak banyak perempuan seberuntung dirimu yang dapat kesempatan boleh berade di dunia laki-laki. 

Aku pun bahagie mendengar dirimu sering mengunjungi keluarge Entu Rasyid serte keluarge Mbok Yem. Kau telah mewakili ketidakhadiranku di tengah orang-orang yang kucintai. 

Mengenai kabar diriku,  

Lame berade di tempat pare pemuja ilmu, malah membuatku merasa kosong, yang kudapat sebetulnya hanyalah pemahaman-pemahaman tentang ego manusie yang merasa lebih benar dari manusie yang lain, bahkan Tuhan. 

Patutkah seseorang yang hanye mampu menampung air dengan tangan kecilnya, menyombongkan diri pade Tuhan pemilik alam semesta?

Setiap hari aku dijejali itu dan dihadapkan pada situasi harus memilih dan membele pemikiran yang paling didukung pare guru agar mendapat nilai akademis tinggi. 

Ku ikuti permainan tu, sehingge nilai akademisku pun menuai banyak pujian, tapi kusadar angke tu hanyelah hasil kemunafikanku mengikuti jalan pikiran mereke. Tujuanku di sini memang hanya untuk lekas pulang. Semakin aku menutup diri dari kebenaran semakin cepat pule tujuanku terlaksane.

Maafkan keluh kesahku, karena kaulah yang kuharap akan menemaniku dalam suke dan duke hingga menutup mate.

Kekasihmu, Irwansyah.


Beberapa bulan kemudian, jauh di seberang sana, surat dari Irwansyah telah sampai ke Langkat. 

Pada masa itu, kantor pos milik pemerintah Hindia Belanda hanya mengantar surat ke alamat penting, bukan ke setiap alamat rumah. Untuk kalangan bangsawan, mereka mengambil surat ke istana, sehingga hampir setiap hari Tengku Farisya bersepeda ke sana untuk memastikan kiriman surat dari Irwansyah. 

Setelah menerima dan membaca surat dari Irwansyah, Tengku Farisya segera menulis surat balasan di kamarnya untuk memberikan dorongan semangat pada kekasihnya.


Kekasihku, kakande Irwansyah sayang,

Awak pun bangge mendengar kabar dirimu mendapat nilai akademis yang menuai banyak pujian.

Entu Hasyim pernah memberi awak nasihat sewaktu kecil.

Beliau bilang, bile kau ingin ahli memanjat, kau boleh saje belajar dari seekor beruk, tapi jangan terikut perilaku serakahnye. Tetaplah makan dengan satu tangan, tanpe melibatkan tangan kiri dan kedua kaki. Lalu gabungkanlah ilmu yang kau dapat darinye dengan kelebihanmu, sehingge kau lebih mampu menjangkau tempat paling tinggi.

Kekasihku, untuk ape kau menutup diri dari kebenaran hanye sekedar nak lekas pulang? Awak jadi sedih, bile kehadiranku di hatimu malah jadi batu penghalang.

Bang, engkau tu pejuang. 

Di sini, dirimu setajam pedang sehingge siapepun segan. Belande, bangsawan hingge pejuang, bagimu same. Kau tak sungkan menyanggah bile kau pandang tak berlaku adil.

Awak lebih bangge bile kau menunjukkan nilai dirimu yang sesungguhnye. Apalagi kau sedang berade di tempat yang menjadi pucuk masalah.

Maafkan awak bile menuntutmu lebih, karena memang pade kekasihku inilah bangse Melayu menitip harapan.

Kekasihmu, Tengku Farisya.


Beberapa bulan kemudiannya, Irwansyah menerima surat dari Tengku Farisya. Setelah membaca, ia sadar sedang berada dalam tempurung. 

Irwansyah pun teringat ucapan Tengku Sani, ‘Singa tak butuh tempurung, gunakan kuku dan taring tajammu.’ 

*****


Kantor Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, Pangkalan Brandan, 1939

Di ruang kantor. Tengku Hasyim dan Tengku Farisya baru saja melakukan pembicaraan penting dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh60 dan beberapa petinggi Belanda lain tentang pengiriman minyak.

“De politieke omstandigheden in de wereld worden steeds gespannener. We vinden het moeilijk om olie te vervoeren. Voorlopig beperken we de leveringen. Hopelijk wordt de situatie snel weer normaal,” ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.

Tengku Farisya menerjemahkan kepada ayahnya, “Beliau kate, kondisi politik dunia sedang memanas, sehingge menyulitkan kite untuk mengangkut minyak. Untuk sementare kite batasi pengiriman.”

Tengku Hasyim mengangguk-anggukkan kepala. “Bilang pade Beliau, Sultan juga telah membacenye dari surat kabar dan dapat memahami situasi ini.”

Tengku Farisya menerjemahkan kepada Gubernur Tjarda van Starkenborgh. “De sultan heeft het nieuws in de krant gelezen. Hij begrijpt de situatie.”

“Oké. Bedankt voor uw komst,”61 ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh sambil berdiri.

Tengku Hasyim dan Tengku Farisya ikut berdiri, mereka bersalaman dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh dan para petinggi Belanda lainnya.

“Tot ziens, meneer Hasyim en juffrouw Farisya,”62 ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.

“Dank u, tot ziens, meneer Tjarda van Starkenborgh,”63 balas Tengku Farisya.

Tengku Hasyim dan Tengku Farisya meninggalkan kantor.


*****


Lihat selengkapnya