Irwansyah dan Tengku Farisya rutin saling berkirim surat. Pada masa itu, surat yang menyeberang antara Hindia Belanda dan Belanda memerlukan waktu berbulan-bulan untuk sampai.
Biasanya, surat-surat milik mahasiswa diletakkan begitu saja di kaca ruang administrasi kampus, sehingga setiap hari Irwansyah pasti melewati tempat itu, menantikan surat dari keluarganya atau dari Tengku Farisya.
Irwansyah baru saja menerima surat dari Tengku Farisya, dan kini ia sedang menulis surat balasan untuk kekasihnya di kamar asrama.
Kekasihku, adinde Farisya sayang,
Abang sangat bangge mendengar kabar dirimu. Ternyate kini engkau selalu menemani entumu dalam mengurus kegiatan konsesi minyak Kesultanan Langkat.
Mungkin banyak perempuan bersekolah yang tak suke berpangku tangan dan berniat melakukan hal-hal bergune bagi negerinya, tapi tak banyak perempuan seberuntung dirimu yang dapat kesempatan boleh berade di dunia laki-laki.
Aku pun bahagie mendengar dirimu sering mengunjungi keluarge Entu Rasyid serte keluarge Mbok Yem. Kau telah mewakili ketidakhadiranku di tengah orang-orang yang kucintai.
Mengenai kabar diriku,
Lame berade di tempat pare pemuja ilmu, malah membuatku merasa kosong, yang kudapat sebetulnya hanyalah pemahaman-pemahaman tentang ego manusie yang merasa lebih benar dari manusie yang lain, bahkan Tuhan.
Patutkah seseorang yang hanye mampu menampung air dengan tangan kecilnya, menyombongkan diri pade Tuhan pemilik alam semesta?
Setiap hari aku dijejali itu dan dihadapkan pada situasi harus memilih dan membele pemikiran yang paling didukung pare guru agar mendapat nilai akademis tinggi.
Ku ikuti permainan tu, sehingge nilai akademisku pun menuai banyak pujian, tapi kusadar angke tu hanyelah hasil kemunafikanku mengikuti jalan pikiran mereke. Tujuanku di sini memang hanya untuk lekas pulang. Semakin aku menutup diri dari kebenaran semakin cepat pule tujuanku terlaksane.
Maafkan keluh kesahku, karena kaulah yang kuharap akan menemaniku dalam suke dan duke hingga menutup mate.
Kekasihmu, Irwansyah.
Beberapa bulan kemudian, jauh di seberang sana, surat dari Irwansyah telah sampai di Langkat.
Pada masa itu, kantor pos milik pemerintah Hindia Belanda hanya mengantar surat ke alamat-alamat penting, bukan ke setiap rumah. Untuk kalangan bangsawan, mereka harus mengambil surat ke istana, sehingga hampir setiap hari Tengku Farisya bersepeda ke sana untuk memastikan kiriman surat dari Irwansyah.
Setelah menerima dan membaca surat dari Irwansyah, Tengku Farisya segera menulis surat balasan di kamarnya untuk memberikan dorongan semangat kepada kekasihnya.
Kekasihku, kakande Irwansyah sayang,
Awak pun bangge mendengar kabar dirimu mendapat nilai akademis yang menuai banyak pujian.
Entu Hasyim pernah memberi awak nasihat sewaktu kecil.
Beliau bilang, bile kau ingin ahli memanjat, kau boleh belajar dari seekor beruk, tapi jangan ikuti perilakunye. Setelah engkau mudah meraih pucuk pokok yang tinggi, tetaplah makan dengan tangan kanan, tanpe melibatkan tangan kiri dan kedua kaki.
Bang, engkau tu pejuang.
Untuk ape kau jauh-jauh menyeberang, lalu menutup diri dari kebenaran hanye sekedar nak lekas pulang? Jangan buat kehadiranku di hatimu malah jadi batu penghalang.
Di sini, dirimu setajam pedang sehingge siapepun segan. Jadikan ilmu yang kau dapat dari Belande dan kelebihan dirimu sendiri sebagai senjate baru yang lebih berdaye untuk berjuang di negeri yang menjadi pucuk masalah. Awak lebih bangge bile kau menunjukkan nilai dirimu yang sesungguhnye.
Maafkan awak yang menuntutmu lebih, karena memang pade kekasihku inilah bangse Melayu menitip harapan.
Kekasihmu, Tengku Farisya.
Beberapa bulan kemudian, Irwansyah menerima surat dari Tengku Farisya. Setelah membacanya, ia menyadari bahwa selama ini dirinya seperti katak dalam tempurung. Irwansyah pun teringat akan perkataan Tengku Sani, "Singa tak butuh tempurung, gunakan kuku dan taring tajammu."
Irwansyah tak lagi ingin terjebak membatasi diri hanya karena keinginannya untuk segera pulang. Belanda adalah tempat terbaik untuk menyuarakan tuntutan atas ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda.
*****
Kantor Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, Pangkalan Brandan, 1939
Di ruang kantor, Tengku Hasyim dan Tengku Farisya baru saja melakukan pembicaraan penting dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh60 dan beberapa petinggi Belanda lainnya tentang pengiriman minyak.
“De politieke omstandigheden in de wereld worden steeds gespannener. We vinden het moeilijk om olie te vervoeren. Voorlopig beperken we de leveringen. Hopelijk wordt de situatie snel weer normaal,” ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.
Tengku Farisya menerjemahkan kepada ayahnya, “Beliau kate, kondisi politik dunia sedang memanas, sehingge menyulitkan kite untuk mengangkut minyak. Untuk sementare kite batasi pengiriman.”
Tengku Hasyim mengangguk-anggukkan kepala. “Bilang pade Beliau, Sultan juga telah membacenye dari surat kabar dan dapat memahami situasi ini.”
Tengku Farisya menerjemahkan kepada Gubernur Tjarda van Starkenborgh. “De sultan heeft het nieuws in de krant gelezen. Hij begrijpt de situatie.”
“Oké. Bedankt voor uw komst,”61 ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh sambil berdiri.
Tengku Hasyim dan Tengku Farisya ikut berdiri, mereka bersalaman dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh dan para petinggi Belanda lainnya.
“Tot ziens, meneer Hasyim en juffrouw Farisya,”62 ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.
“Dank u, tot ziens, meneer Tjarda van Starkenborgh,”63 balas Tengku Farisya.
Tengku Hasyim dan Tengku Farisya meninggalkan kantor.
*****
Jalan Raya, Pangkalan Brandan
“Maye kabar Irwansyah? Bile die nak pulang?” tanya Tengku Hasyim saat berada di mobil bersama Tengku Farisya.
“Bang Irwan baru pun setahun lebih di Belande,” sahut Tengku Farisya.
“Lame tu, Nak. Sementare, Entu pun mendengar berite tak sedap perihal Irwansyah di Belande. Kampus Leiden mengirim telegram pade Sultan.”
Tengku Farisya terkejut. “Ape mereke bilang?”