Sumatera Timur, 1942
Hari pernikahan Irwansyah dengan Tengku Farisya semakin dekat, tetapi Irwansyah lebih mengutamakan waktunya untuk menyusun kekuatan.
Untuk menepati janjinya pada Shinichi meningkatkan pendapatan ekonomi pemerintahan Jepang, Irwansyah merekrut bangsawan yang punya pengalaman mengelola aset kesultanan, diantaranya Tengku Sani, Tengku Usman, Tengku Farisya dan yang lainnya. Dia juga mengerahkan para pemuda dari kalangan rakyat biasa untuk mendapat pengalaman dan belajar bekerja di perusahaan pemerintahan Jepang.
Setelah itu, Irwansyah meminta bantuan tentara Jepang untuk memberi keterampilan militer pada para pejuang lokal. Setiap hari mereka mereka belajar bertempur menggunakan senjata militer di kawasan Langkat. Alasan Irwansyah agar bisa membantu Jepang, bila tentara sekutu datang.
Irwansyah juga membuat markas perjuangan rahasia di rumah milik Rusdi di Medan. Rusdi adalah pemuda yang pernah berpidato dalam pertemuan pemuda Langkat. Irwansyah membekali peralatan radio agar para pejuang bisa mendapat informasi tentang Perang Dunia.
*****
Rumah Rusdi, Medan
Pagi ini Irwansyah menghadiri pertemuan para pejuang di rumah Rusdi. Rumah ini merupakan bangunan toko bertingkat yang dibeli Rusdi khusus untuk markas pejuang. Bangunan besar yang tidak memiliki sekat ruang. Rusdi menyusun bagian dalam seperti kantor, yang banyak terdapat meja dan kursi.
Irwansyah, Tengku Sani dan Rusdi duduk di depan berhadapan dengan para pemuda yang sebagian teman-teman baru Rusdi di Medan, sebagian lagi teman-teman lama Rusdi dari Langkat.
Jumlah pemuda yang hadir cukup banyak, mereka sedang mendapat arahan dari Irwansyah.
“Bang Irwan, apakah Abang sendiri yakin, Jepang mau memberikan kite kemerdekaan?” tanya Burhan.
Burhan adalah pemuda temperamen yang bernafsu menghajar Syam saat pertemuan pemuda di Langkat.
“Burhan, bile seseorang merampas kebun milik orang lain yang ternyate tumbuh emas, apakah die mungkin melepasnye begitu saje?”
Para pemuda tertawa, termasuk Burhan.
“Begitulah pulak dengan Jepang,” lanjut Irwansyah.
“Kalau begitu, untuk ape Abang malah mengajak kite dekat dengan Jepang? Ape tak sebaiknye Abang suruh aku menghantam?” tanya Burhan.
“Abang berkawan dengan jepang, bukan karene terpengaruh bualannye, tetapi nak menyusun kekuatan. Bile bertemu musuh tegap, buatlah badan kite sama tegapnye. Itulah sebab sebagian dari kalian Abang buat dilatih tentare, termasuk dirimu,” jawab Irwansyah.
“Sekarang aku paham, Bang,” sahut Burhan.
“Kau ni mentang-mentang tegap, nak main hantam saje,” canda teman Burhan.
“Burhan badannye saje yang tegap. bertemu tikus menjerit,” sambung teman Burhan lainnya, sehingga membuat orang-orang tertawa.
“Ketimbang tikus, aku lebih pilih menghantam orang Jepang bersenjate,” jawab Burhan, sehingga membuat orang-orang kembali tertawa.
“Lalu, cemane bile tentare-tentare Jepang tu menenteng tikus?” tanya Irwansyah.
“Larilah aku, Bang,” sahut Burhan membuat semua orang tertawa lagi.
“Untung kau belum membawe kami menghantam Jepang,” ujar teman Burhan.
“Betul, perang memang butuh persiapan matang,” sahut Irwansyah.
Seorang pemuda mengangkat tangan, “Bung Irwan. Sejak zaman Belanda hingga Jepang, kenapa kita selalu tidak percaya diri? Padahal jumlah kita jauh lebih banyak. Jika semua mau berperang tanpa pikir panjang, kita sudah menang.”
“Jumlah penduduk mana yang Bung Hitung? kesultanan Deli? Kesultanan Aceh? Kesultanan Banten? Kesultanan Bulungan? Kesultanan Ternate?” tanya Irwansyah.
“Penduduk Indonesia! Jumlahnya sangat banyak, Bung!” jawab orang itu.
“Apakah sudah ada pemerintah pusat yang bisa menggerakkan seluruh wilayah? Apa kamu lupa? Indonesia masih sedang kita perjuangkan, Bung,” ujar Irwansyah.
“Bung sudah punya pasukan bersenjata. Suruh mereka secepatnya bunuh Shinichi! Setelah pemimpinnya mati, semua anak-anak buahnya pasti menyerah. Nanti wilayah lain pasti mengikuti langkahmu, Bung!” sahut pemuda tadi.
“Maaf, Bung, siapa namamu? Sepertinya kita belum pernah bertemu,” tanya Irwansyah.
“Yunus,” sahut orang itu singkat.
Irwansyah menengok Rusdi.
“Yunus ini ahli elektronik, Bang. Dia memang baru bergabung kemarin setelah membetulkan peralatan radio kita yang rusak,” ujar Rusdi.
“Selamat bergabung, Bung Yunus,” ujar Irwansyah ramah.
“Terima kasih, Bung. Kebetulan saya juga punya peralatan radio sendiri untuk mengamati perkembangan politik. Itulah sebabnya saya bergabung, ingin ikut membantu mengusir penjajah,” sahut Yunus.
“Nah, sebagai seorang yang biasa menggunakan radio, Bung Yunus pasti tahu bahwa Jepang adalah salah satu kekuatan terbesar dalam perang dunia,” ujar Irwansyah.
“Jelas saya tahu, Bung. Mungkin anda yang belum tahu, bahwa saat ini Jepang sedang sangat sibuk dalam urusan perang Pasifik. Sekarang adalah kesempatan yang tepat untuk menyerang Jepang,” jawab Yunus.
“Jika aku mengikuti saranmu menyuruh anak-anak muda yang baru mengenal senjata membunuh pelatihnya, bukankah sama saja menyuruh bunuh diri?” tanya Irwansyah.
“Kita tidak akan tahu hasilnya, jika belum mencobanya,” jawab Yunus.
Irwansyah tersenyum. “Jepang memang sedang konsentrasi untuk perang Pasifik, tapi jika gangguan di sini besar, negeri kita juga akan jadi fokus utama mereka. Lagi pula, jangankan kita, Bung. Belanda saja terpaksa berhitung. Tentara Jepang biasa berhadapan dengan tentara negara-negara terkuat. Aku tak perlu bertaruh untuk hal yang bisa kuduga hasilnya.”
Yunus tertawa. “Tadi saya sudah bilang, kita selalu tidak percaya diri. sebenarnya itulah masalah yang harus Bung selesaikan. Sudahlah, karena Bung Irwan sangat takut pada Jepang, lebih baik kita bertanya langsung pada semua pejuang di sini. Apakah ada diantara kalian yang benar-benar punya nyali untuk perang mengusir penjajah?”
“Setuju, Bung Yunus! Kami semua memang sudah tak sabar untuk merdeka” sahut seorang pemuda dengan lantang.
Suasana menjadi riuh, karena terjadi perbedaan pendapat di antara para pemuda.
Rusdi segera menengahi. “Tolong tenang, kita bicara satu-persatu.”
Rusdi tidak mampu mengendalikan situasi, para pemuda tetap terus berdebat sengit dengan suara yang semakin tinggi.
Irwansyah pun berdiri sambil meletakkan pistol di meja. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk langsung kembali hening.
Irwansyah menunjuk Yunus. “Kau, Yunus, ambil pistol ini. Sekarang juga ku antar bertemu Shinichi, lalu kau tembak kepalanya di depanku. Jika dia mati, kucium kakimu, lalu kuturuti apapun maumu. Tapi, jika ternyata nanti kau tak berani. Aku bersumpah akan menembak kepalamu!”
Yunus terkejut, dia tak menyangka malah ditantang membuktikan nyalinya sendiri.
Suasana pun semakin hening, saking heningnya, semua orang bisa mendengar suara detak jam besar yang ada di situ.
“Ambil,” suruh Irwansyah.
Yunus menunduk.
“Ambil!” bentak Irwansyah.
Yunus semakin menunduk dn gelisah.
“Siapa lagi tadi yang lantang ingin berperang? Ambil!” tantang Irwansyah sambil mendekati para pemuda.
Mereka yang tadi berkoar-koar juga malah menunduk.
“Hey, pejuang hebat pemberani, angkat wajahmu, lihat wajahku!” teriak Irwansyah.
Mereka semakin menunduk.
Burhan mengangkat tangannya, lalu berdiri. “Kalau Bang Irwan benar menyuruh, awak bersedia pergi sendiri membunuh Shinichi dengan parangku dan ikhlas tanpa perlu Abang mencium kaki awak.”
Irwansyah tersenyum. “Duduklah kau, Burhan. Tadi kau tak memaksaku.”
Burhan pun duduk kembali.
“Tadi kubilang, aku tak perlu bertaruh untuk hal yang bisa kuduga hasilnya. Lihatlah, pistol itu kuletakkan di meja. Aku baru saja berani bertaruh karena hasilnya bisa kuduga. Tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam. Aku sempat berada di tengah pusaran perang dunia, sehingga mudah membaca gestur para pengecut,” sindir Irwansyah.
Para pemuda diam.
“Jadi yang tadi kalian berani pertaruhkan, hanya nyawa orang lain, kan?” tanya Irwansyah.
Para pemuda tetap diam.
“Kau berani mempertaruhkan nyawamu sendiri, Bung? Pistolku masih di sana, tawaranku masih berlaku,” tanya Irwansyah sambil mendekati Yunus.
Yunus diam.
“Jawab!” bentak Irwansyah.
“Sa sa saya t-tidak berani,” jawab Yunus gugup.
“Jika di antara kalian ada yang belum mendengar peristiwa Nanking, silakan angkat tangan!” suruh Irwansyah.
Burhan dan beberapa temannya mengangkat tangannya.
“Hanya sedikit? Ternyata hampir semuanya tahu. Lalu, berapa banyak jumlah korban yang tewas dalam peristiwa itu?” tanya Irwansyah.
Para pemuda tetap diam.
“Tidak tahu? Mungkin sebaiknya aku mudahkan lagi pertanyaannya. Apakah jumlah korbannya sedikit, banyak atau sangat banyak? Jawab!” tanya Irwansyah.
“Sangat banyak,” jawab beberapa pemuda dengan suara pelan.
“Tahu rupanya. Ada juga gunanya, setiap hari kalian memantau informasi. Aku lanjutkan. Kalian orang-orang pintar yang punya perhatian pada perjuangan kemerdekaan, siapa yang mampu menjelaskan bagaimana sikap Jepang di berbagai wilayah negeri kita, apakah sama dengan perlakuan Jepang pada kita di sini?” tanya Irwansyah.
Para pemuda hanya bisa diam.
“Saya tak percaya jika tak ada seorang pun yang mampu menjelaskan. Bung Yunus, yang sering mendengar radio, silakan jawab,” perintah Irwansyah.
Yunus diam.
“Baiklah, Aku bantu Bung Yunus menjawab. Sikap Jepang tidak sama di setiap wilayah, tergantung kepentingan politik mereka, betul?” tanya Irwansyah.
Irwansyah menanti jawaban. Lagi-lagi hanya terdengar suara detak jam.
“Ayo, mana suara lantang kalian tadi saat diminta bicara satu-persatu?” tantang Irwansyah.
Kini bukan hanya suara detak jam, bahkan terdengar suara sayup-sayup tawa anak-anak kecil yang bermain di lapangan yang berada agak jauh.
“Saudara-saudara kita di wilayah lain, ada yang dipaksa jadi budak, ada yang disiksa dengan biadab, ada yang dipancung dan perempuannya pun diperkosa! Siapa yang mau membantah pernyataanku?“ teriak Irwansyah.
Pertanyaan-pertanyaan Irwansyah yang bernada retoris semakin membuat mereka hanya bisa menunduk.
“Aku memang tidak punya nyali untuk mengundang kesengsaraan kejahatan perang Jepang di tempat kita, tetapi aku masih mau berusaha menyusun kekuatan agar suatu saat nanti mampu melawan! Hey, para pengecut yang bermulut besar! Kalau ingin perang, pergilah ke tempat yang telah menjadi neraka, lalu tolong saudara-saudara kita di sana! Sayangnya mulut kalian yang besar tidak sebanding dengan nyali kerdil kalian.”
Irwansyah menatap tajam satu-persatu wajah para pemuda yang menginginkan perang, lalu berakhir di Yunus.
“Masih ada yang ingin kau sampaikan, Bung?” tanya Irwansyah pada Yunus.
“C-cu cukup b-bung, t-terima kasih,” jawab Yunus gugup.
Irwansyah kembali duduk sambil menenangkan dirinya.
*****