Ambang Senja

indra wibawa
Chapter #21

Bab 19. Menuntut Keadilan

Medan, Agustus, 1946

Persidangan dimulai. Syam dan beberapa tokoh kelompok revolusioner telah menjadi terdakwa. Irwansyah sebagai Openbare Aanklager atau Jaksa Penuntut Umum dan Rasmin sebagai Advocaat atau pembela (penasihat hukum). Rasmin adalah senior Irwansyah di kampus Leiden, seorang dari kelompok kiri.

Usai pembacaan pledoi191 dari Rasmin, hakim memberikan waktu kepada Irwansyah untuk menyampaikan replik192.

“Yang Mulia. Dalam rapat Komite Nasional Indonesia 3 februari tahun 1946, kalangan bangsawan telah menyatakan dukungannya pada pemerintah Republik Indonesia. Saat itu, Gubernur Sumatera juga mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan sultan-sultan dan raja-raja di Sumatera Timur. Namun, sekelompok orang yang menamakan dirinya kelompok revolusioner, malah bergerak sendiri menolak hasil keputusan bersama yang merupakan wujud nyata itikad baik pemerintah pusat dalam mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Kelompok revolusioner yang sama sekali tidak taat pada pemerintah pusat, malah merencanakan penghapusan kesultanan atau kerajaan di Sumatera Timur. Mereka menyebar propaganda, memberi stigma negatif, menghasut rakyat agar membenci kaum feodal, kemudian mengerahkan massa yang telah termakan aksi propagandanya untuk melaksanakan serangan serentak kepada kaum bangsawan. Sejak tanggal 3 maret tahun 1946 terjadilah pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan harta benda, perusakan dan pembakaran bangunan milik pribadi dan istana kesultanan, dalam aksi biadab yang malah diberi nama Revolusi Sosial, kemudian ….”

Rasmin berdiri. “Keberatan, Yang Mulia! Revolusi memang sering menimbulkan korban, tetapi jangan lantas menggiring opini bahwa aksi perjuangan rakyat untuk memperbaiki nasib ini sebagai aksi biadab. Sebetulnya Revolusi Sosial mirip Revolusi Perancis di Eropa. Revolusi yang telah membuat Perancis menjadi salah satu negara besar, terima kasih.“

“Harap saudara pembela menunggu izin hakim sebelum menyampaikan argumen keberatan. Silakan untuk dijawab atau dilanjutkan, saudara Jaksa,” ujar Hakim pada Irwansyah.

“Terimakasih, Yang Mulia. Saya akan jawab, sekaligus melanjutkan. Saudara pembela menyamakannya aksi biadab mereka dengan Revolusi Perancis. Saya tentu jadi harus menjelaskan, Revolusi Perancis adalah gerakan kelompok sayap kiri yang ingin menghapus sistem feodal. Di Perancis memang telah terjadi eksploitasi dan kesewenang-wenangan dari kaum feodal yang berkuasa dan pemuka agama kepada kaum proletar. Ditambah lagi, saat krisis ekonomi terjadi, penguasa malah menerapkan sistem pajak regresif, yaitu masyarakat kelas bawah dikenakan pajak lebih besar. Seluruh rangkaian ketidakadilan penguasa memicu aksi yang menumpahkan darah. Banyak korban jatuh, bahkan Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dipenggal, lalu kepalanya diletakkan di ujung tombak serta diarak keliling kota. Saudara pembela benar, Revolusi Perancis dan Revolusi Sosial sama-sama mempertontonkan kekejian. Hasil yang ingin dicapai dari Revolusi Perancis adalah terhapusnya sistem feodalisme dan membentuk pemerintahan republik yang menjunjung demokrasi, gagasan yang kini telah diadopsi banyak negara, tetapi jangan lupa, Pengusung Revolusi Perancis sendiri malah tidak memakainya! Ternyata tidak lama setelah itu, Napoleon Bonaparte malah menjadi kaisar Perancis, aksi yang sebenarnya hanya ingin mengganti penguasa feodal lama dengan penguasa feodal baru yang sama-sama otoriter. Oleh karena itu patut diduga aksi kemarin juga punya tujuan sama, yaitu meruntuhkan penguasa lama agar kelompok Revolusioner berkuasa, sama sekali bukan untuk rakyat. Sudah salah mengambil referensi, salah alamat pula.” 

Para pengunjung persidangan bertepuk tangan. 

Hakim mengetuk palunya berkali-kali. “Saya minta semua hadirin menghormati persidangan!” 

Suasana kembali tenang.

“Silakan lanjutkan saudara Jaksa,” ujar hakim.

“Kerajaan atau kesultanan di Sumatera Timur tidak melakukan eksploitasi dan kesewenang-wenangan! Mereka ….”

“Keberatan!”

“Kerajaan atau kesultanan di Sumatera Timur tidak melakukan eksploitasi ….”

Rasmin kembali berdiri. “Keberatan! Izinkan saya menanggapi, Yang Mulia!”

“Silakan saudara pembela,” ujar hakim. 

“Kaum feodal Sumatera Timur, jelas telah melakukan eksploitasi dan kesewenang-wenangan pada rakyatnya! Rakyat mau bergerak karena merasakan langsung penderitaan! Kita semua sama-sama menyaksikan, para bangsawan yang telah lama menjadi antek-antek kaki tangan Belanda itu, tega merampas tanah rakyat untuk dijual ke Belanda, mereka juga memperbudak rakyatnya demi keuntungan diri mereka sendiri dan penjajah!” ujar Rasmin, lalu duduk kembali.

“Silahkan jawab, saudara Jaksa,” perintah Hakim pada Irwansyah.

“Terimakasih, Yang Mulia. Baik, saya akan jawab argumen yang tidak memiliki dasar itu. Apakah betul kesultanan atau kerajaan di Sumatera Timur telah merampas tanah rakyat? Penguasa artinya mereka yang berkuasa atas suatu wilayah. Pemimpinnya biasa disebut dengan istilah kepala suku, kepala adat, raja, sultan, kaisar, presiden dan sebagainya. Karena kekuasaannya, penguasa berkuasa membuat atau menentukan hukum, sehingga siapapun yang berada dalam wilayah kekuasaannya harus tunduk pada hukum yang diberlakukannya. Begitu pula apabila suatu penguasa takluk atau dijajah oleh penguasa yang lebih kuat, maka hukum yang berlaku adalah hukum milik pihak penjajah. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Itu berlaku di belahan dunia manapun sejak kekuasaan hadir di muka bumi. Lalu bagaimana di negeri kita, apa ada yang beda? Sejak saat penguasa-penguasa kita masih saling menjajah, hingga akhirnya dijajah oleh bangsa-bangsa dari benua Eropa, ternyata juga seperti itu. Saat setiap kesultanan atau kerajaan berkuasa, hukum mereka berlaku di wilayahnya. Saat kesultanan atau kerajaan dijajah oleh pihak yang lebih kuat, hukum dari pihak yang lebih kuat berlaku. Saat negeri kita dijajah Belanda, kita terpaksa menjalankan hukum Belanda. Saat negeri kita dijajah Jepang, kita juga terpaksa menjalankan hukum Jepang. Saat Republik Indonesia merdeka, hukum Indonesia berlaku di wilayah kekuasaannya. Belanda memiliki hukum terkait tentang tanah. Setiap tanah di wilayah jajahannya terikat oleh Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria 1870. Engelbertus de Waal, membuat undang-undang tersebut untuk melindungi hak pemilik tanah atau pribumi agar tidak kehilangan hak atas tanahnya. Sejak saat itu munculah aturan bahwa kepemilikan tanah harus dibuktikan dengan surat yang dikeluarkan pemerintah. Undang-undang tersebut juga membagi jenis kepemilikan tanah menjadi tanah milik pribumi dan milik pemerintah, sebetulnya sama seperti era kekuasaan masa sebelumnya. Apakah saudara pembela belum tahu? Negara kita juga masih menerapkan hukum milik Belanda, termasuk tentang tanah. Lalu atas dasar hukum siapa, saudara pembela menuduh kesultanan atau kerajaan merampas tanah rakyat? Jika penegak hukum tidak tahu hukum, negara bisa kacau! Artinya, besok-besok kita juga akan membenarkan, saat ada sekelompok orang yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, membunuh untuk merebut tanah milik orang lain dan milik negara, dengan dalih, karena pemerintah Republik Indonesia telah merampas tanah rakyat. Apakah saudara pembela sekarang sudah paham?”

“Saya berhak tidak menjawab,” jawab Rasmin.

Para pengunjung persidangan menyoraki Rasmin. 

Hakim mengetuk palunya berkali-kali. “Saya minta semua tenang atau sidang saya skors!” 

Suasana kembali tenang.

“Silakan lanjutkan saudara Jaksa,” ujar hakim.

“Terimakasih, Yang Mulia. Sekarang saya ingin menjawab pertanyaan mengenai, tuduhan kesultanan atau kerajaan di Sumatera Timur memperbudak rakyat demi keuntungan penjajah. Begini, hubungan pemerintah Belanda dengan kesultanan di Sumatera Timur tidak sama dengan pada umumnya di wilayah jajahan lain. Di sini justru Belanda tidak menerapkan Domein Verklaring kepada kesultanan. Tanah-tanah di wilayah kesultanan Melayu, tidak otomatis menjadi milik pemerintah Belanda, walau terjajah tetap diakui milik kesultanan. Untuk mengolahnya pemerintah Belanda malah mau membuat perjanjian kerjasama usaha dan bagi hasil. Kerja sama tersebut dikenal dengan istilah ‘Konsesi’. Di Sumatera Timur, boleh dibilang pemerintah Belanda masih menghormati kedaulatan para Raja dan Sultan, sehingga dampak penjajahan pada rakyatnya juga berbeda. Rakyat … ”

Rasmin memotong. “Konsesi itulah penyebabnya! Konsesi membuat para Sultan menumpuk harta sehingga sangat kaya raya, tetapi menjadikan rakyatnya sebagai budak sapi perah ekonomi para ….”

Hakim mengetuk palunya. “Saya tegaskan! Saudara pembela boleh bicara setelah saya izinkan!” ujar Hakim pada Rasmin.

“Maaf, Yang Mulia,” ujar Rasmin.

“Lanjutkan, saudara Jaksa,” perintah Hakim pada Irwansyah.

“Terimakasih, Yang Mulia. Saya lanjutkan. Justru Konsesi itulah yang menyebabkan dampak penjajahan pada rakyat di sini jadi berbeda. Dengan dibukanya banyak perkebunan besar di Sumatera Timur, kawasan ini menjadi harapan baru bagi rakyat sekaligus magnet yang mengundang pendatang. Perekonomian terus meningkat, kotanya pun giat berhias. Sumatera Timur memikat orang-orang dari luar berdatangan, mulai dari para tetangga terdekat dari pulau yang sama, hingga dari pulau-pulau yang jauh di seberang, bahkan hingga pulau-pulau yang sekarang telah menjadi negara tetangga. Siapa yang datang ke sini karena dipaksa? Tidak ada! Para pengusaha datang karena ingin bersaing di wilayah pusat ekonomi, para buruh datang karena sulitnya mencari pekerjaan di daerah asal. Jangan samakan menjadi buruh di sini dengan Romusha atau Kerja Rodi yang terjadi di wilayah lain. Oleh sebab itu, kita patut mengutuk ….“

“Keberatan!”

Lihat selengkapnya