Rumahku, Jakarta, 1990
Aku sudah berada di Jakarta. Seminggu bersama Atuk Irwansyah di Malaysia membuatku banyak belajar tentang hidup, pengorbanan, keberanian, kesabaran, keikhlasan, dan banyak hal lainnya.
Malam nanti, aku berencana melamar Fania bersama kedua orang tuaku. Atuk Irwansyah dan istrinya sedang berada di rumah orang tua Fania. Aku sudah diperkenalkan dengan Atuk Tengku Farisya. Beliau sama pintarnya seperti Atuk Irwansyah.
Keluarga Fania adalah orang-orang dari kalangan berada yang berpendidikan, kontras dengan kondisi keluargaku, terutama sebelum aku berhasil memiliki usaha kuliner.
Keluarga bapakku dan ibuku sama miskinnya dan bahkan tidak tamat SMA. Aku bisa tamat sekolah dan pernah masuk perguruan tinggi negeri berkat beasiswa pemerintah serta sedikit penghasilan dari memberi kursus untuk anak-anak orang kaya, termasuk Fania. Oleh sebab itu, aku dekat dengan Fania dan kedua orang tuanya.
“Zal,” panggil bapakku.
“Ya, ada apa, Pak?” tanyaku heran melihat wajahnya yang terlihat ragu.
“Hmm, Ibu enggak bisa pulang. Kakek mendadak kritis di rumah sakit, Ibu malah minta Bapak datang,” ujar ayah pelan.
Aku berpikir sejenak. Kakekku memang sejak pagi tadi masuk rumah sakit. Ibuku masih menemaninya di sana.
“Ya, sudah, Pak, Rizal akan kabari Fania buat nunda lamaran,” sahutku.
“Jangan gitu, Zal, enggak sopan. Apa kamu aja yang ngelamar sendiri tanpa keluarga?” tanya Ayah.
Aku menghela nafas. “Rizal pikir, kayaknya keluarga Fania bisa maklum, Pak.”
Dengan hati berdebar, aku menelepon Fania dan mengabarkan kondisiku. Di luar dugaan, Atuk Irwansyah malah ingin mengajak seluruh anggota keluarganya untuk ikut menjenguk kakekku ke rumah sakit.
*****
Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta
Di luar ruang ICU, aku dan ibuku duduk menunggu keluarga Fania. Ayahku sedang berada di dalam ruang ICU untuk mendengarkan penjelasan dokter yang sedang menangani kakekku.
Keluarga Fania datang dan mereka berkenalan dengan ibuku.
“Bagaimana kondisi kakekmu, Nak?” tanya Atuk Tengku Farisya padaku.
“Masih koma, Tok Puan. terima kasih sudah datang. Mohon maaf, dokter tidak mengizinkan pasien dikunjungi di dalam,” ujarku.
“Oh, tentu. Kami memang hanya sekedar menjenguk sebisanya sekaligus berkenalan. Apa boleh kami kami ikut menunggu di sini sebentar?” tanya Atuk Tengku Farisya pada ibuku.
“Boleh, nyonya-nyonya dan tuan-tuan semua. Maaf banget, gara-gara saya, kami enggak jadi datang ngelamar Non Fania. Saya takut ada apa-apa sama bapak saya, Nyonya,” ujar ibuku.
Atuk Tengku Farisya memeluk ibuku. “Kami bisa mengerti. Oh, iya, jangan panggil kami Tuan, Nyonya, Non, kami bukan orang-orang besar, apalagi Insya Allah sebentar lagi kita jadi satu keluarga.”
Seorang perawat keluar dari ruang ICU. “Seluruh keluarga yang menunggu boleh masuk. Pasien ingin bicara.”
Seluruh keluargaku dan Fania masuk ke dalam ruang ICU. Atuk Irwansyah terkejut melihat wajah orang tua yang berbaring dengan penuh peralatan medis. Ibuku segera menggenggam tangan kakekku sambil menangis. Dengan sentuhan itu, kakekku membuka matanya yang terpejam. Dia memandangi orang-orang di sekelilingnya, wajahnya terkejut melihat Atuk Irwansyah dan Atuk Tengku Farisya.
“Irwansyah… Farisya?” sebut kakekku ragu.
Atuk Irwansyah mengangguk dengan wajah gundah gulana, sementara Atuk Tengku Farisya jadi menjauh.
“Irwansyah… tolong… mendekatlah,” pinta kakekku dengan kepayahan.
Ibu memberi ruang kepada Atuk Irwansyah yang sedang mendekat.
“Maafkan aku… Irwansyah,” ujar kakekku sambil menangis.
Aku heran melihat orang-orang tua itu saling mengenal. Entah kenapa pula kakekku meminta maaf. Aku pun berpikir keras untuk menyambungkan sosok kakekku dengan cerita Atuk Irwansyah.
Seingatku, Atuk Irwansyah tidak pernah menyebut nama kakekku. Semua orang memanggil kakek Mbah Firman, begitu pula kakek menyebut dirinya sendiri; bahkan KTP-nya pun hanya bertulis nama Firman.
Tiba-tiba aku teringat pernah membaca dokumen lama milik kakek yang bertulis nama lengkapnya, Firman Syamsudin.
Astaghfirullahaladzim! Apa kakekku ini adalah Syam? tanyaku dalam hati.
“Irwansyah… sejak kau bicara di pengadilan… sebenarnya kau telah menang… kau membuatku menyadari… kesalahanku,” ujar Kakek.
Atuk Irwansyah hanya diam.
“Irwansyah… lihatlah kondisiku… umurku panjang, tapi hidupku tersiksa… aku selalu dikejar-kejar dosaku sendiri… itulah sebabnya aku pindah ke Jakarta… tapi… rasa bersalah itu tetap mengikutiku.” Syam menggenggam tangan Atuk Irwansyah sambil menangis. “Aku memang selalu mengatakan maaf… tapi terus melakukan kesalahan lagi, lagi… dan lagi… tapi kali ini….”
“Aku juga selalu memaafkanmu, Syam,” sahut Atuk Irwansyah.
Kakekku menangis. Atuk Irwansyah menyeka keringat dingin Syam dan air matanya.
“Lalu bagaimana dengan kesalahan aku … pada orang-orang yang lainnya ,,, kemana aku harus memohon maaf? … dan tampaknya… aku sudah melihat… malaikat maut menatapku… tepat di sebelahmu,” ujar Kakek.
“Selama kita masih bernafas, Allah Maha penerima taubat dari hambanya yang bersungguh-sungguh,” ujar Atuk Irwansyah.
Nafas Syam tua tersengal-sengal. Semua anggota keluarga ikut lebih mendekat sambil memegangi Syam.
“Aku… aku… aku….“
Atuk Irwansyah berbisik di dekat telinga Syam, “Syam, sebaiknya kau mengucapkan lafaz ….”
Syam tampak meregang, setelah itu ia diam dan tidak bergerak. Atuk Irwansyah memeriksa nafas Syam.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Syam sudah pergi, ikhlaskan dan maafkan segala kesalahannya,” ucap Atuk Irwansyah sambil menutup mata Syam.
Semua orang di ruang ICU menangis, termasuk Atuk Tengku Farisya.
*****
Rumah Atuk Irwansyah, Jakarta, 1990
Tiga hari setelah pemakaman Syam, Atuk Irwansyah mengundang keluarga ayahku ke rumahnya.
“Maaf, Tuk, sejak bertemu saya belum sempat ngenalin diri dan bicara sama Atuk dan keluarga,” ujar bapakku.
“Tidak apa-apa. Sebagai anak menantu yang baru saja kehilangan ayah, tentu kau masih dalam keadaan berduka. Oh, iya Rizal bilang, sebenarnya ia punya gelar Tengku, tentu kau pun punya gelar itu?” tanya Atuk Irwansyah.
“Betul, Tuk. Nama saya Tengku Azhar. Rizal sempat cerita tentang Atuk. Saya ini adalah anak kecil yang pernah Atuk ajak bermain, sewaktu Atuk pulang dari Bukittinggi,” ujar bapakku.