Tidak ada hal yang paling menyebalkan bagi Ambar selama menjadi mahasiswi baru selain perpustakaan yang tutup. Ia heran, bagaimana sebuah kampus bisa begitu sering menutup perpustakaannya? Jadwal kuliah yang punya rentang waktu cukup lama dari kelas satu ke kelas lainnya dalam satu hari, membuat Ambar sangat ketergantungan dengan perpustakaan. Selain karena itu adalah “perpustakaan” – tempat sunyi paling nyaman untuknya – itu juga adalah tempat yang dingin untuk menunggu jadwal kelas selanjutnya. Cuaca yang panas selalu menahan kakinya untuk tidak pulang ke rumah kos meski keadaan ini sudah berlangsung berkali-kali. Karena meskipun jaraknya dekat, bila berjalan kaki di bawah terik matahari, perjalanannya akan terasa sangat jauh dan melelahkan.
Sebenarnya, di depan gedung kuliah Ambar, ada sebuah lapangan futsal yang multifungsi. Bulan lalu, lapangan itu dipenuhi oleh stand-stand makanan sebagai pengisi acara salah satu jurusan di kampus. Bulan ini, sebuah pertandingan futsal sedang berlangsung di lapangan yang sama untuk memeriahkan hari jadi jurusannya. Di sekitar lapangan itu terdapat bangku-bangku penonton yang disekat-sekat oleh pohon sawit. Bangku-bangku itu juga dilengkapi atap yang cukup melindunginya dari panas. Maka bila para pemain futsal di tengah lapangan itu bertanding sembari panas-panasan dan mandi keringat, penonton yang duduk di bangku sekitar lapangan ini bisa melihat pertandingan dengan cukup nyaman, tanpa kepanasan.
Saat Ambar kecewa mendapati perpustakaan yang tutup dan memutuskan untuk kembali ke gedung kuliahnya, langkah kakinya terhenti di salah satu pojok bangku pinggir lapangan itu. Rupanya pertandingan hari ini diikuti oleh teman-teman satu angkatannya. Ia lalu memutuskan duduk di bangku itu. Toh, perpustakaan sedang tutup dan bangku di bawah pohon sawit itu cukup menawarkan keteduhan.
Ambar memilih duduk di bangku yang paling sepi. Hanya ada seorang pria di sana yang tampaknya memiliki rasa yang sama dengan Ambar – tidak ingin diganggu. Maka Ambar langsung duduk tanpa menyapa. Terlihat dari kepalanya yang berambut hampir botak, mestinya pria itu merupakan mahasiswa yang sama-sama berada di tingkat pertama seperti dirinya. Jadi, Ambar semakin percaya diri untuk tidak perlu bersikap terlalu sopan dengan meminta izin sebelum duduk. Pria itu juga acuh. Entah ia terlalu fokus dengan pertandingan sehingga tidak menyadari kedatangan orang lain duduk di bangku yang sama dengannya untuk menonton pertandingan futsal atau memang dia tidak peduli saja. Matanya terpaku pada pertandingan. Tidak melirik sama sekali pada kehadiran Ambar.
Bila kau tanya bagaimana perasaan Ambar saat itu, jawabannya adalah canggung. Untuk pertama kalinya ia merasa canggung duduk dengan orang asing dan tidak saling menyapa. Padahal, hal itu sering dilakukannya di berbagai tempat umum dan selama ini rasanya biasa saja. Tapi saat itu, pria yang memangku ransel berwarna biru tua dan tidak menganggap kehadirannya itu seolah malah menyiratkan bahwa ia ingin disapa. Di tempat umum seperti ruang tunggu kereta atau halte angkutan umum kota, Ambar paling tidak akan memberikan senyumnya sebelum duduk di samping orang asing karena biasanya mereka akan lebih dulu memalingkan tatapannya – dari apapun itu – kepada Ambar sebagai refleks pada gerakan yang semakin mendekati mereka. Mungkin, kejadian di luar ekspektasinya inilah yang membuat Ambar merasa canggung duduk di samping pria asing itu.
Tanpa sadar, waktu sudah membuat langit yang semula terik, perlahan mulai meredup. Ambar sudah tidak merasa panas seperti sebelumnya. Angin perlahan-lahan mulai bertiup dan menggoyang-goyangkan dedaunan pohon sawit di sampingnya. Syukurlah, pikirnya. Bersamaan dengan skorsing waktu pertandingan dan skorsing panas matahari itu, pria asing tadi tiba-tiba memberikan sebelah tangannya untuk memperkenalkan diri.
“Rubi. Pertandingan tadi seru sekali. Aku sampai terlalu fokus untuk menyadari kedatangan seorang gadis di pinggir lapangan. Apa kau benar-benar menonton?” Ia sangat jelas menatap Ambar sekarang.
Ambar hanya menatap balik dan diam. Ada apa ini? Mulutnya kaku sekali untuk menjawab. Ia cukup terkejut dan hampir tidak mendengar jelas apa yang barusan dikatakan pria itu.
“Halo? Siapa namamu?” pria itu kembali bertanya.
“Ah, ya.” Ia berusaha untuk kembali sadar, “Aku Ambar. Maaf, sebelumnya apa yang kau bicarakan?”