Ambar bukannya bersikap tidak sopan pada Rubi. Bukan juga ia ingin melawan harapannya untuk menjadi Ambar yang banyak bicara. Di setiap kesempatan mereka bersama – benar-benar hanya berdua – Rubi yang selalu banyak bicara. Ia seperti tidak pernah tidak mengalami hal menarik setiap harinya. Seperti suatu hari saat Ambar tinggal sendiri di Galeri, Rubi tiba-tiba datang dengan raut wajah ceria yang seperti biasanya. Ia menyapa Ambar dengan panggilan suka-sukanya – Permata Madu – dan mulai bercerita ngawur tentang kota.
“Hari ini panas sekali. Sepertinya matahari di kota ini ada dua.”
“Mana bisa?”
“Benar! Padahal sekarang musim hujan, tapi yang kita dapat hanya basah dan becek jalanan. Saat hujannya tidak datang, langit kembali mengundang matahari kembar itu untuk kota kita.”
Sebenarnya Ambar suka dengan bicara Rubi yang banyak. Ia sama sekali tidak terganggu. Tapi Ambar tidak tahu bagaimana cara membalasnya. Perempuan itu terlalu dingin untuk bisa jadi seceria Rubi. Kadang ia hanya tersenyum, tertawa kecil, memasang muka heran, dan membalas seadanya sembari menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan kecil di Galeri. Bila dibandingkan antara jam kerja mulut dan tangan perempuan itu, Ambar lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggerakkan tangannya daripada mulutnya.
“Ah, aku lapar. Kamu bawa bekal lagi? Aku ingin sekali makan mie ayam.”