Hari itu Ambar mengikuti kegiatan UKM Seni di luar kota. Kota Hujan namanya. Dan seperti namanya, hujan hampir selalu hadir selama empat hari tiga malam mereka berada di sana, kecuali satu hari itu. Satu hari di mana hujan tidak hadir dan membuat para peserta juga panitia bisa menyelesaikan acara sesuai rencana karena di hari terakhir adalah waktunya hiking.
Ambar sudah sangat siap dengan kegiatan ini. Meski ia tidak suka hujan dan beceknya jalanan setelah hujan, bila kegiatan yang ia lakukan adalah hiking maka sah-sah saja untuk mengotori celananya dengan cipratan sisa air hujan sepanjang perjalanan. Baginya, hujan memang seharusnya ada di sebuah vila dengan pohon-pohon pinus di halaman belakangnya, juga kebun-kebun teh sepanjang perjalanan menuju desa penduduk. Hujan boleh turun di tempat-tempat dataran tinggi karena air yang ditinggalkannya akan lebih cocok untuk pohon cemara, sayur mayur di kebun para petani dekat rumah, dan bunga-bunga anggrek yang cantik. Ambar telah menunggu hari ini tiba, hari di mana ia bisa berjalan di tanah becek sehabis hujan, tanpa merasa sebal.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, para peserta berbaris di lapangan samping vila. Akan ada pembagian kelompok sebelum mereka memulai hiking. Ambar yang berbaris di belakang dengan sepatu kedap air dan topi rajut buatan neneknya, tiba-tiba mencari sosok pria tinggi bernama Rubi saat panitia menyebutkan nama-nama mereka. Ambar dan Rubi hampir tidak punya waktu berdua untuk saling mengisi energi. Tidak ada Rubi yang berisik, tidak ada Ambar yang diam. Keduanya sama-sama sibuk memperhatikan materi dengan cara masing-masing. Rubi yang banyak diam untuk mengambil banyak ilmu. Ambar yang banyak bertanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Dan saat pembagian kelompok untuk hiking, Ambar berharap ia bisa satu kelompok dengan Rubi.
Mengapa terlintas pikiran untuk satu kelompok dengannya? Padahal percuma juga, dia tidak akan banyak bicara di perjalanan karena ada banyak peserta lain. Kenapa tiba-tiba rasanya beda? Apa aku merindukan keributannya?
Ambar tidak mengerti pada harapannya hari itu yang juga ternyata terkabul. Tepat saat lamunannya hilang dan mencoba kembali fokus, namanya disebut dalam satu kelompok yang sama dengan Rubi. Pria itu spontan juga menengok ke belakang, mencari keberadaan Permata Madunya. Ia tersenyum kecil saat matanya tepat bertatapan dengan mata Ambar. Namun raut muka perempuan bertubuh setinggi pundaknya itu tidak menunjukkan ekspresi sesenang dirinya. Tidak apa, dia biasanya juga begitu. Dalam hati pasti senang karena bisa satu kelompok denganku. Saat inilah perjalanan mereka dimulai. Lebih tepatnya, perjalanan dengan rasa yang baru bagi Ambar.
“Apa sesenang itu bisa satu kelompok denganku? Kau sungguh banyak diam selama perjalanan ini.” Rubi memendekkan langkahnya agar bisa sejajar dengan Ambar dan mengajaknya bicara.
“Aku hanya senang karena punya teman dalam perjalanan. Lagipula belum sampai lima menit sejak kita meninggalkan vila, bagaimana bisa aku banyak bicara?”
Dalam hati Ambar memang senang rasanya. Perempuan itu mudah saja menipu orang lain tentang perasaannya, tapi Rubi seperti bisa menengok ke dalam isi hatinya dan melihat tulisan yang terukir jelas di sana bahwa perempuan itu sedang senang dalam diam.
“Apa kau suka pohon pinus? Kudengar titik akhir perjalanan ini adalah halaman belakang vila. Dan kau tahu apa yang ada di belakang vila? Barisan pohon pinus!”
“Aku sudah tahu.”
“Bagaimana kau bisa tahu? Apa pernah kesana?”
“Bagaimana kau bisa tidak tahu? Dari depan vila saja kita bisa lihat pohon-pohon itu menjulang tinggi.”
“Aku bukannya tidak tahu. Hanya ingin memberitahumu saja.”
“Kau tahu, pohon pinus melambangkan apa?”
“Apa?”