Panggung langit semalam menampilkan bulan sebagai pemeran utamanya. Perannya sebagai purnama sangat cantik dengan gaun kuning keemasan yang memancarkan sinar ke seluruh penjuru panggung yang redup. Bintang-bintang sampai tidak percaya diri untuk ikut naik panggung, hingga bulan harus terus menghibur penontonnya di bumi sampai pagi. Apa ia tidak kelelahan tenaganya habis buat senang orang lain? Apa ia juga senang? Apa tidak kesepian?
Itulah narasi penutup dari pertunjukkan monolog yang dipentaskan oleh Ambar. Ia berhasil menampilkan monolog dengan tenang. Walau ada beberapa kalimat yang ia sesuaikan karena sempat lupa, tapi secara keseluruhan ia berharap penampilannya mendapat nilai dari para senior untuk diperhitungkan sebagai calon pengurus tahun depan. Ya, Ambar dan Rubi sudah bertekad untuk bergabung dalam kepengurusan tahun depan. Hampir setiap hari mereka ada di Galeri, saling tahu dengan anggota UKM Seni yang lain, juga cukup akrab dengan beberapa senior seperti Kak Rian dan Kak Dira. Rasanya sudah mulai nyaman berada di Galeri dan bergabung dengan UKM Seni.
“Keren! Kamu bagus! Aku sampai terharu.” Puji Rubi kepada Permata Madunya itu.
“Huft, gugup sekali. Kamu berhasil ambil videoku? Aku mau lihat!”
Selepas itu, Rubi mengajaknya ke lorong pameran tempat di mana kesenian tangan dipamerkan. Lukisan yang membuat Ambar penasaran haruslah dia sendiri yang menunjukkannya. Lagipula, lukisan itu memang diperuntukkan padanya.
“Pohon pinus?”
“Salah. Ini Damar Bunga.”
“Sama saja, Rubi.”
“Ah, terlalu banyak istilahnya.”
“Cantik, ya?”
“Lukisanku? Jelas! Pasti dapat poin besar dari senior.”
“Pohonnya. Tapi kenapa kamu kasih sunset? Pohon pinus kan bagusnya dipandang pagi hari. Mestinya langitnya biru.”