Pentas Seni yang digelar oleh UKM Seni setiap tahunnya selalu mengundang perhatian dari banyak orang. Lapangan tidak pernah sepi selama acara berlangsung. Banyak orang datang karena pernasaran, banyak yang datang karena mendukung teman yang tampil, banyak juga yang datang karena ingin menghabiskan hari terakhirnya di kampus sebelum liburan semester tiba. Tapi seorang pria yang memakai kaos putih berlengan pendek, celana setinggi lutut dan sandal jepit itu, terlihat seperti seorang yang datang bukan karena tiga alasan di atas. Ia seperti sedang mencari pelarian dari sesuatu yang entah apa, karena wajahnya yang tersenyum melihat penampilan Ambar, tidak menyiratkan ia duduk di bangku paling atas dan pojok itu dengan niat. Matanya berbinar seperti baru menemukan permata di antara bebatuan tak berharga. Di pipinya ada sisa-sisa air mata yang sepertinya sudah mengering, menandakan bahwa ia bukan menangis karena terharu melihat penampilan Ambar di atas panggung. Mesti ada alasan lain yang membuatnya menangis. Alasan yang akhirnya membuat ia datang.
“Pulang!” seorang wanita tiba-tiba menarik tangan pria itu, mengajaknya pulang.
Wanita yang terlihat lebih tua darinya, memiliki air muka yang tegas, dan mata kemerahan seperti habis menangis juga. Ia berpakaian rapi dengan blouse yang terlihat mahal juga rok setinggi lutut yang berpotongan pas di tubuhnya yang tinggi dan ramping. Rambutnya terurai panjang dan sepatu tingginya membuat ia terlihat hampir sepantaran dengan pria itu saat berdiri.
Pria itu tidak bisa melawan. Karena selain tidak ingin menimbulkan keributan di tengah acara, sosok wanita itu sepertinya sangat dihormatinya. Dengan manut, pria itu mengikuti langkah yang diambil wanita itu dengan masih menggenggam tangannya – takut kalau-kalau pria itu akan lari. Padahal, ia bisa lari ke mana lagi? Di mukanya terlihat jelas tulisan “aku ikut pulang” meski senyumnya sudah pudar sejak wanita itu memintanya pulang.
Mereka masuk ke sebuah mobil putih. Si pria diantarnya duduk di kursi penumpang, sementara si wanita yang memegang kemudi. Mobil itu berjalan ke arah sebelah kanan kampus, arah yang berlawanan untuk sampai di alun-alun kota. Selang beberapa menit kemudian, mereka memasuki sebuah perumahan sederhana, namun wanita itu terus menginjak gas mobilnya sampai tiba di sebuah rumah tingkat dua yang terlihat lebih elit dari rumah-rumah di sekitarnya.
Wanita itu turun lebih dulu, membuka gerbang rumah yang cukup tinggi, lalu masuk lagi ke dalam mobil untuk memarkirkan mobilnya ke dalam garasi yang sudah terbuka sejak awal. Si pria masih diam. Dan sampai mobil selesai di parkir, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Rupanya, si wanita telah menahan emosinya sepanjang perjalanan untuk ia luapkan di dalam rumah yang hanya berisikan mereka berdua.
“Sudah berkali-kali kubilang tidak ada alasan lagi! Sudah berkali-kali kubilang kemasi barang-barangmu sekarang! Sebelum kamu terlalu lama di kampus itu, kita pindah awal tahun ini!” wanita itu bicara dengan emosi, berapi-api, bahkan hampir menangis. Tapi pria yang menjadi lawan bicaranya tidak ingin tersulut emosi,