Rasa penasaran akhirnya membawa Ambar pergi menuju Galeri. Malam itu, selepas pukul 17.00, ia ingin memastikan Galeri sudah kosong. Ia ingin membuktikan dugaannya; bahwa Rubi hanya membual saja. Tanpa tergesa-gesa ia melewati lapangan tempatnya dan Rubi bertemu pertama kali. Ia memilih jalan memutar, untuk mengulur waktu lebih lama lagi. Maka alih-alih melewati gedung pascasarjana untuk cepat sampai di Galeri, ia melewati panggung tempat Pentas Seni diadakan dua bulan lalu.
Tidak seperti perkiraannya bahwa di jalan itu akan sepi, seorang pria berjalan dari arah berlawanan. Ia sangat tergesa-gesa melangkahkan kakinya yang panjang sembari menengok sesekali ke belakang. Tepat saat tubuhnya berpapasan dengan Ambar di bawah pohon palem, pria itu berkata serius, “jangan ke sana!” lalu ia menarik pergelangan tangan kiri Ambar dan hendak membawanya kembali berjalan ke depan panggung serbaguna di kampus itu.
Ambar terkejut. Sangat. Siapa dia? Memang ada apa di sana?
Belum sempat mengambil banyak langkah, tiba-tiba ada yang melemparkan sebuah buku ke arah mereka. Ambar kembali terkejut, lalu menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya agar bisa melihat siapa pelaku di balik pelemparan buku itu. Nampak seorang wanita berdiri diam tak jauh dari mereka, raut mukanya terlihat marah, tapi matanya menangis. Sesakit itu, kah? Apa yang sudah dilakukan pria ini?
Wanita itu kemudian berjalan menghampiri. Sementara si pria bersembunyi di balik tubuh Ambar.
“Kuharap kamu bisa mengerti pria gila ini.” Ia memungut buku yang tadi dilemparnya, lalu menaruhnya ke atas tangan kanan Ambar yang bebas. Ambar hanya diam. Wanita itu pergi.
Pria yang masih memegang pergelangan tangannya itu jatuh terduduk di tanah yang otomatis membuat Ambar ikut duduk bersamanya di bawah pohon palem.
“Maaf, membuatmu masuk ke dalam masalahku.”
“Ada apa?”