Ambar Merah

Dhea FB
Chapter #12

Damar dan Bunga

Dua gelas cup kopi dari mesin otomatis dibawa langsung oleh Damar menuju tempat duduk di dalam sebuah minimarket. Di sana sudah ada Ambar yang duduk menghadap jendela luar dan melipat tangannya di atas meja. Satu cup kopi americano untuk Ambar yang tidak suka manis, satu cup kopi cappucino untuk pria yang memiliki kantung mata panda di wajahnya.

           Mereka banyak berbincang satu sama lain. Sebenarnya, pria itu yang banyak bicara. Mungkin salah satu bentuk pelampiasan atas kejadian yang menimpanya adalah bercerita. Benar-benar banyak bercerita. Ambar berusaha sebaik mungkin merespon semua cerita dari pria itu karena ia harus melupakan apa-apa yang ditinggalkannya di Galeri; kemungkinan bahwa Rubi ada di sana menunggunya.

           Damar bercerita, “Wanita itu adalah Bunga, kakakku satu-satunya. Kami tinggal berdua di kota ini, sementara orang tua kami bekerja dinas di Pulau Besar. Sejak aku kuliah, dia mulai banyak berubah. Seolah ia sedang berperan menjadi ibu, banyak mengatur. Terakhir, ia mengajakku pindah setelah lulus nanti. Ralat. Bukan mengajak, tapi mengharuskan. Dia bilang kota ini terlalu sesak, tapi juga terasa sepi. Dia ingin mengajakku ke Pulau Besar agar bisa berkumpul lagi dengan ibu dan bapak. Tapi aku tidak mau. Aku punya Rumah Kecil di sini. Sebuah tempat taman baca mini anak-anak, sekaligus tempat bermain. Sangat mini dalam arti masih sedikit koleksi buku di sana. Tapi anak-anak di tempat itu cukup banyak yang antusias. Mereka suka ketika aku membacakan cerita. Mereka juga suka mengerjakan tugas sekolah di sana bersama-sama. Karena hampir setiap hari anak-anak yang sama selalu datang, aku jadi merasa dekat dengan mereka. Kau tahu, bukan, rasanya ada kedekatan karena tiap hari bertemu. Seperti itulah aku dengan anak-anak itu.”

           Ambar masih memdengarkan, sembari pikirannya sesekali teringat Rubi. Dulu, pria yang akan banyak cerita seperti ini adalah Rubi, meski ceritanya tidak seserius Damar. Dalam hati Ambar juga mengiyakan perasaan dekat karena temu setiap hari. Bagaimana bisa dia tidak tahu rasanya bersamaan saat ini ia sedang benar-benar merasakannya?

           “Tapi, kakakku tidak suka dengan kegiatanku itu. Seperti yang mungkin juga kamu tahu, kegiatanku ini adalah kegiatan sosial yang sama sekali tidak menghasilkan uang. Hanya ada amal dan kebahagiaan. Banyak uang jajanku tersisihkan untuk Rumah Kecil ini: untuk membeli buku; alat tulis; bayar tagihan listrik dan air; dan keperluan-keperluan lainnya. Aku belum punya donatur selain Ibu dan Bapak, sementara Kak Bunga menganggap itu suatu pemborosan. Belakangan aku sadar, alasan dia berubah mungkin karena dia sudah merasakan susahnya mencari uang, hingga akhirnya menganggapku gila dengan kegiatan yang menghabiskan uang untuk orang lain itu.”

           “Ada apa dengan buku ini?” Ambar menunjukkan buku yang sebelumnya dilempar oleh Kak Bunga.

           “Itu hanya buku catatan, berisi tulisan-tulisan tidak jelas, menurut kakakku. Padahal aku berniat menulis cerita untuk anak-anak di sana. Lihatlah! Memang tidak jelas isinya, haha.”

Lihat selengkapnya