Suatu hari di bulan Maret, ada seorang pria yang nampak sedang menunggu seseorang di depan gerbang kos Ambar. Dialah Damar, nampak rapi dengan setelan kemeja biru laut yang dipadukan dengan celana jeans dan sepatu sneakers putih. Ambar yang hendak berangkat ke kampus saat itu cukup terkejut bertemu Damar setelah hilang komunikasi sejak pertemuan pertama mereka. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Damar sedang memanfaatkan jeda untuk bisa memperhatikan Ambar; mengetahui jadwal kuliahnya, kegiatannya di Galeri, dan kebiasaannya di Kampus. Hingga sampailah kali ini Damar bisa datang menjemputnya di rumah kos. Hal yang tidak pernah diduga oleh Ambar.
“Aku antar ke kampus, boleh?”
“Apa ini semacam ada maksud terselubung? Sudah lama sejak pertemuan pertama kita, bagaimana kabarmu?”
“Haha. Sepertinya kamu bukan orang yang bisa diajak basa-basi. Pantas kamu mau saja menerima cerita orang asing sepertiku waktu itu.” Ambar tersenyum kecil. Mereka melanjutkan pembicaraan sambil berjalan kaki menuju kampus.
Sebelumnya, setelah pertemuan Ambar dan Rubi untuk pertama kalinya di semester baru itu, Ambar sudah tidak lagi berusaha menghindari Rubi. Selain karena ia harus datang ke Galeri untuk menunaikan tugasnya sebagai pengurus baru dan menyerap ilmu yang ada di sana, ia merasa salah mengakui perasaannya beda terhadap Rubi. Lagipula, belum ada satu tahun mereka saling kenal, rasanya tak mungkin perasaan yang Ambar punya ini adalah cinta. Bagaimana jika memang hanya perasaan suka sebagai sahabat? Toh selama ini dia belum pernah berteman dengan seorang pria sampai sedekat ini. Maka mulai senja pertama di semester baru yang mereka lalui berdua itu, Ambar menutup hatinya seperti malam menutup lembayung senja.
“Aku yakin kamu bisa banyak membantu di Rumah Kecil. Anak-anak sangat menyukai pentas teater.”
“Aku tidak yakin bisa membagi waktuku. Kuliah dan UKM Seni rasanya sudah cukup membuatku sibuk.”