Ambar benar pergi mengunjungi Rumah Kecil bersama Damar, tapi bukan berarti ia pergi dengan perasaan tenang. Mana bisa pikirannya tidak terganggu setelah perdebatan kecil dengan Rubi yang berujung saling diam. Tapi ia bisa apa? Siapa Rubi sampai ia harus menuruti perintahnya untuk tidak pergi bersama Damar? Mereka hanya teman. Ambar sadar itu. Dan dari pengalamannya, Rubi tidak seharusnya memerintah seolah dia berhak. Rubi tidak perlu khawatir seolah kekasihnyalah yang akan dibawa pergi oleh Damar. Ambar tak pernah mengharapkan perhatian seperti itu lagi dari Rubi. Di antara mereka berdua tidak boleh ada bibit-bibit rasa yang berpotensi jadi penyakit hati karena itu semua hanya dipupuk oleh harapan, bukan kenyataan.
Beruntungnya Rumah Kecil tidak seperti namanya. Bagi Ambar, Rumah Kecil berarti besar. Pantas saja Damar tidak ingin meninggalkan tempat anak-anak kecil berkumpul setiap sore itu. Di pojok depan halaman rumah ada sebuah pohon mangga besar yang salah satu dahan terkuatnya dipasangkan ayunan. Lalu di sekitar pohon itu ada jungkat-jungkit dan sebuah kotak pasir yang di dalamnya berserakan banyak cetakan hewan-hewan laut untuk membuat pasir itu memiliki rupa. Anak-anak tampak senang bermain di sana.
Di dalam rumah berlantai 2 itu, ada banyak rak buku yang belum semuanya terisi, tapi cukup untuk koleksi penghuni Rumah Kecil yang saat ini berjumlah 18 orang anak. Ruangan lantai 1 itu sepertinya memang khusus untuk arena belajar karena selain rak buku, ada beberapa meja dan kursi kecil di dekat jendela. Sisi lain di lantai 1 hanya sebuah kamar mandi dan dapur yang keduanya berada di pojok belakang rumah. Di lantai 2 ada dua buah kamar yang dilengkapi kasur. Kamar yang satu sering digunakan Damar saat ia menginap di sini, sementara satunya digunakan oleh seorang gadis yang sukarela menjadi penjaga Rumah Kecil saat Damar tidak ada. Ada juga semacam ruang terbuka serbaguna di sana. mungkin tempat anak-anak berlatih teater? Entahlah, ruangan itu nampak kosong dengan hanya sebuah cermin besar yang berhadapan dengan pintu masuk.
Rumah ini seperti hidup. Tidak seperti rumah berisi buku yang hanya didatangi saat anak-anak butuh. Rumah ini lebih seperti tempat petualangan bagi anak-anak di sekitar sini karena banyak buku yang bisa mereka jelajahi dengan perlengkapan amunisi makanan – satu kulkas penuh – yang akan menjamin mereka tidak akan kelaparan sepanjang perjalanan.
Tempat ini memang sesuai dengan kebutuhan anak-anak yang tinggal di sekitar sini terlebih dengan profesi orang tua mereka yang rata-rata sibuk di pasar dari pagi hingga malam dan hanya sanggup menyekolahkan anaknya sampai SD juga tidak bisa banyak membelikan mereka buku untuk menjelajahi dunia. Ambar terharu sekali. Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan ada tempat seperti ini yang jaraknya begitu dekat dengannya. Ia tidak pernah membayangkan ada anak-anak yang kekurangan buku karena sedari kecil ibu selalu memberikan ia banyak buku untuk dibaca. Ambar tak pernah juga mengira ada orang sebaik Damar yang mau peduli dengan anak-anak sekitar sini dan...bagaimana dia bisa mendapatkan ide semacam ini?
“Jadi, bagaimana tanggapanmu?”
“Mungkin aku menyesal karena baru sekarang meng-iya-kan tawaranmu. Mereka sungguh sebuah keajaiban!”
“Apa kau suka dengan anak-anak?”
“Tidak. Aku tidak sesuka itu. Tapi melihat mereka bermain dan membaca bersama di sini, mengapa rasanya aku terharu. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk seketika menyukai mereka.”
“Oh, syukurlah. Aku menganggap itu adalah jawaban darimu untuk tawaranku tentang pelatih teater.”
“Aku mau! Bagaimana bisa aku menolaknya?”
“Haha, jelas kemarin kau bisa.”
Tidak banyak waktu yang dihabiskan Ambar di sana. Rumah Kecil hanya akan menerima anak-anak sampai jam 7 malam karena jalanan sekitar sini sepi dan gelap. Damar juga menghindari kekhawatiran orang tua mereka bila anak-anaknya pulang terlalu malam. Terlebih, mereka masih anak-anak.
“Ada cerita menarik, kah, di balik berdirinya rumah kecil ini?” Ambar penasaran.
“Hmm... Mungkin karena aku ingin berterima kasih.”