Ambar Merah

Dhea FB
Chapter #19

Berpikir Berlebihan

“Rubi, kita harus bicara.”

Satu pagi di awal bulan April yang tenang terasa menegangkan. Mestinya Ambar hadir di kelas perkuliahannya Kamis pagi itu, tapi ia membolos karena perasaannya sudah tidak sanggup lagi memikirkan Rubi yang sudah belasan hari terasa diam padanya, meski pria itu bisa tetap profesional di UKM Seni dengan tidak menjauhi Ambar. Ia tetap datang ke Galeri, tidak seperti Ambar yang bersembunyi di perpustakaan. Pria itu juga tetap menawari Ambar makan mie ayam bersama Kirana, begitu juga tetap menemani Ambar menulis dan mengantarnya pulang ke rumah kos. Tapi semua itu, terasa beda.

Ada satu kalimat yang keluar dari mulut Rubi yang membuatnya semakin yakin bahwa pria itu mulai berubah. “Ambar, mau makan mie ayam?”

Ya! Ambar! Pria itu memanggilnya ‘Ambar’ alih-alih ‘Permata Madu’ seperti biasanya. Untuk pertama kalinya sejak mereka dekat, pria itu memanggil Ambar dengan nama aslinya, bukan nama panggilan yang dibuat-dibuatnya. Sejak saat itu Ambar yang sudah sibuk, menambah-nambah kesibukannya dengan memperhatikan setiap gerak-gerik Rubi; caranya melukis, caranya makan mie ayam, caranya berjalan saat mengantar pulang. Semuanya benar-benar beda dari biasanya. Pria itu tidak lagi melukis menghadap dirinya untuk curi-curi pandang. Pria itu juga tidak lagi duduk di sebelah Ambar saat makan mie ayam – ia akan lebih memilih duduk dekat Kirana. Pria itu juga tidak lagi mensejajarkan langkahnya saat mengantar Ambar pulang, ia akan lebih memendekkan langkahnya agar berjalan satu langkah di belakang Ambar.

Ada apa dengan perubahan Rubi? Apa aku sudah berbuat salah? Mestinya dia bilang sesuatu padaku, atau menceritakan hal-hal gila yang penuh makna agar aku bisa menebak-nebak isi hatinya. Tapi selain aku yang sudah terlalu sibuk, ia kini terlalu diam.

Maka di satu pagi di bulan April itu, Ambar mencegat Rubi di depan gedung kuliahnya. Ia tahu, hari ini jadwal kuliah mereka sama. Untuk bisa mendatangi Rubi di luar Galeri, Ambar merasa tak berdosa mengambil satu jatah bolos kelas Kamis paginya itu.

“Ambar? Aku ada kelas.” Pria itu tampak terkejut karena sebelumnya Ambar tidak pernah mendatanginya ke kelas.

“Lima menit cukup, Bi. Aku juga ada kelas.”

“Baiklah, di sini saja.”

“Kamu kenapa?”

“Ambar? Apa sepenting itu membolos kelas untuk bertanya ‘kamu kenapa?’”

“Aku serius.”

“Aku juga serius. Kita di sini untuk kuliah, bukan untuk memperdulikan perasaan orang lain pagi-pagi. Ayolah, kamu biasanya lebih disiplin daripada aku.”

Lihat selengkapnya