Ambar tiba dengan nafasnya yang masih tidak teratur. Lelah sekali rasanya hanya berlari dari kantin menuju lapangan. Padahal kampus mereka tidaklah besar. Bahkan mungkin tidak sampai waktu dua menit untuk tiba di lapangan dengan berlari seperti tadi. Dan, benar saja. Pria itu ada di sana. Si pria yang ceritanya selalu aneh selaras dengan gayanya yang aneh; memadukan tas biru tua dengan sepatu coklat yang sudah pudar, memakai kemeja retro dengan celana panjang coklat yang juga sudah hampir pudar terlihat saat terkena sinar matahari.
“Kamu habis dikejar apa?” pria itu bingung mendapati perempuan di hadapannya berkeringat sambil nafasnya terengah-engah.
“Kamu! Aku habis dikejar kemungkinan kamu tidak ada di mana-mana!”
“Haha...” pria itu tertawa. Puas sekali. “Sini...sini, duduk dulu.” Ia lalu mengeluarkan sebotol minuman untuk perempuan yang kini duduk sambil bersandar di sampingnya.
Perempuan itu mengambil minumannya, meneguk beberapa kali sampai hampir menghabiskan setengah botol.
“Kenapa harus takut aku hilang? Memangnya aku bisa pergi ke mana?” pria itu bicara setelah memastikan perempuan di sampingnya bisa kembali mengatur nafas dengan tenang.
“Entahlah. Aku takut.” Perempuan itu menjawab pelan dilanjutkan dengan diam sesaat.
“Apa sepanik itu? Padahal sekarang sudah ada teknologi handphone. Kamu tidak menghapus nomorku, kan?”
“Oh, benar! Kenapa aku bisa lupa?” mereka tertawa sesaat. Seperti itulah Ambar yang tidak terlalu ketergantungan dengan ponsel pintarnya saat sudah membuat janji.
“Jadi, kamu mau bicara apa?” Rubi memulai percakapan.
“Huft.” Ambar menghela nafas sebentar. “Mungkin ini terdengar aneh, tapi menurutku, kamu yang aneh. Kamu kenapa? Sikapmu aneh belakangan ini.”
“Aneh bagaimana?” Rubi pura-pura tidak tahu. Ia sedikit terkejut mendapati pertanyaan Ambar. Tapi ia juga ingin tahu seberapa banyak Ambar mengetahui isi hatinya.
“Kamu tidak pernah lagi mensejajarkan langkahmu saat mengantarku pulang. Kamu, kenapa tidak pernah menceritakan hal-hal gila lagi? ‘Apa sekarang matahari ada tiga?’ Atau, ‘sebentar lagi akan ada hujan salju karena tumben sekali kota ini dingin’. Kenapa, Bi? Kamu marah?”
“Marah? Haha.” Pria itu tetap berusaha menjawab dengan tenang. Kenyataannya justru sekarang, pria itu sedang ketakutan. Ia takut hubungan mereka akan berakhir. Benar-benar berakhir. Ia takut meski ketidakjelasan hubungan mereka ini berlanjut, rasanya tidak akan sama lagi.
Perempuan itu pun menunduk. Berusaha meredam perasaannya. Ia sebenarnya ingin langsung saja menebak, apa kamu cemburu pada Damar? Karena perubahanmu jelas terasa setiap aku habis pergi dengannya. Tapi itu adalah kemungkinan paling tidak mungkin di antara mereka. Mana bisa pria paling tidak dimengertinya itu punya rasa cemburu? Atau tebakan lain seperti apa aku yang terlalu sibuk? Hingga perubahanmu hanyalah perasaanku saja. Tapi jika benar begitu, betapa malunya aku sudah terlalu serius menanggapi hal ini.
Ambar kemudian menatap lapangan yang kosong, berpaling lagi ke sisi kanan dan kiri, melihat-lihat bahwa sekitarnya benar-benar sepi. Siang itu panas. Mungkin udara juga memacu pikiran berlebihannya. Apalagi ia kelelahan sehabis berlari. Atau mungkin bukan fisiknya yang lelah karena tidak sampai lima menit ia berlari. Hati dan pikirannya lelah menanggung perasaan yang tidak jelas dan kemungkinan-kemungkinan saat berusaha menebak-nebak perasaan Rubi.