Ambar adalah seorang anak tunggal dari sepasang orang tua yang baik sekali. Mereka adalah pasangan ideal di lingkungan tempat tinggalnya. Ibunya seorang pemilik toko bunga di ruko depan perumahannya. Bapaknya adalah seorang pengusaha Parfum lokal yang sudah banyak menjual produknya hingga ke mancanegara. Meskipun sudah sukses, Bapaknya tidak pernah memiliki niatan untuk membawa keluarganya tinggal di Kota Besar – kota di mana kantor Bapak berada. Ia lebih memilih untuk pulang-pergi ke kantornya dengan jarak dua jam perjalanan paling cepat. Setiap hari, Bapak akan berangkat sebelum matahari sempat terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Terkadang, ada hari-hari di mana Ambar tidak bisa berjumpa dengan Bapaknya karena ia belum bangun sepagi itu dan sudah tidur sebelum larut malam. Hanya Ibu, wanita paling setia yang selalu bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan dan bekal untuk Bapak, dan enggan tidur sebelum Bapak pulang ke rumah.
Kenangan Ambar tentang masa kecilnya sangat indah, karena meskipun Bapak sibuk dari Senin sampai Jumat, Bapak akan tetap meluangkan waktu untuk menemaninya bermain di hari Sabtu dan Minggu. Tidak jarang keluarga kecil itu pergi piknik ke luar kota dan bermalam di sana. Kota Hujan adalah salah satu kota favoritnya, karena di salah satu vila langganan keluarga itu, tumbuh beberapa pohon pinus dan bunga-bunga anggrek, juga rerumputan gajah kecil yang boleh diinjak untuk membasahi kakinya dengan bekas air hujan yang berada di antara rerumputan.
Sewaktu kecil, Ambar sangat suka bermain hujan di vila itu, karena jika ketahuan oleh Bapak, Ambar akan dikejar untuk kemudian dibawa masuk ke dalam vila. Kegiatan kejar-kejaran itu dianggap sebagai permainan untuk gadis kecil yang senang bertelanjang kaki di atas rumput. Ia akan bersembunyi di balik pohon pinus yang satu, lalu berlari ke pohon pinus yang lain, berusaha sembunyi untuk tidak tertangkap oleh Bapak, meski suara tawanya lupa ia sembunyikan dan Bapak jadi lebih mudah menemukannya. Gadis kecil itu bahagia sekali.
Sampai suatu hari, kebahagiaan yang selalu didapatnya perlahan berubah. Dalam ingatannya, saat itu Bapak semakin sibuk dengan pembukaan toko cabang yang bertambah banyak. Bapak sudah semakin jarang pulang. Ibu dan Ambar sering ditinggal berdua. Bahkan Bapak bisa menginap beberapa hari, saking terlalu sibuknya mengurusi bisnis. Akhirnya Ambar lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ibu sepulang sekolah. Ia banyak menghabiskan waktu di toko bunga Ibu, dan menghindari bermain di hari Sabtu dan Minggu bersama teman-temannya karena takut kalau-kalau Bapak akan mengajak mereka berlibur.
Tapi, kesibukan Bapak benar-benar mengubah segalanya. Hari Sabtu dan Minggu berlalu begitu saja tanpa berlibur dengan Bapak. Saat ada waktu di rumah, Bapak memilih untuk beristirahat dan mengurung diri di kamar daripada mengajaknya jalan-jalan. Pikirnya saat itu, mungkin Bapak sudah mulai tua dan mudah lelah. Ambar jadi tidak berani mendekatinya, takut mengganggu Bapak. Padahal usia Bapak masih sangat muda, tiga puluh delapan tahun. Sebagai gantinya, Ibu tidak pernah absen menemani hari-harinya. Wanita berparas teduh itu berusaha sebisa mungkin supaya Ambar tidak merasa kesepian.
Hingga pada suatu malam, Ambar sedang tertidur di kamarnya di lantai dua. Ia terbiasa tidur dengan ruangan yang gelap, karena jika tidak, matanya tidak akan bisa terpejam dengan lelap. Tapi satu malam itu, meski Ambar sudah mematikan lampu, ia tetap terbangun saat suara-suara di lantai satu tidak bisa diredam dengan gelapnya kamar. Ambar penasaran, tapi ia tidak bisa mendengar dengan jelas suara-suara itu berbunyi apa. Teriakkan Bapak? Pertengkarankah? Jeritan Ibu?
Ambar bingung. Ia ingin keluar dari kamar, melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi baru sampai di ambang pintu, suara lain terdengar. Tangisan Ibu, derap langkah kaki yang terburu-buru, bantingan pintu. Lalu, senyap. Ambar mengurungkan niatnya. Ia kembali ke kasur dan menutup telinga. Umurnya baru sebelas tahun. Air matanya menetes tanpa ada yang tahu.