Di balik meja-meja prasmanan yang memanjang sedikit jauh dari tempat duduk penonton, seorang wanita berpakaian mewah berdiri di sana. Ia memperhatikan setiap penampilan anak di atas panggung, memberi tepuk tangan di dalam hati pada keberhasilan orang-orang di balik terselenggaranya acara hari itu.
Tatapannya sesekali juga mencuri muka orang-orang berpakaian rapi yang duduk membaur di antara penonton dengan pakaian rumahan. Matanya jeli sekali memperhatikan tawa mereka, juga menilai betapa penampilan di atas panggung itu sangat menghibur mereka. Wanita itu enggan bergabung di antaranya. Bukan karena takut pakaian licinnya menjadi kusut, tapi karena terlalu malu pada sikap angkuhnya. Bagaimana bisa selama ini ia acuh pada kegiatan mulia yang dilakukan oleh adiknya?
Lihatlah! Orang-orang berpakaian rapi yang duduk di atas karpet itu bahkan bercengkrama dengan para orang tua yang mayoritas bekerja sebagai pedagang di pasar. Lihatlah! Para anak dengan warna kulit kusam karena terlalu lama terpapar sinar matahari itu berhasil membuat orang-orang berpakaian rapi menikmati suara mereka atau tari-tarian yang tak beraturan. Apa selama ini hatinya sudah tertutup gedung tinggi dinding ber-AC?
Benar-benar memalukan. Wanita itu mengumpat dirinya sendiri. Damar sungguh sudah dewasa. Dia bukan lagi anak berumur belasan tahun yang tidurnya saja minta ditemani. Kenapa aku tidak bisa melihatnya sejak dulu? Bahkan teman-teman Ibu bisa dibuatnya duduk di atas karpet itu. Kenapa aku angkuh sekali mengatakan Rumah Kecil ini adalah ide gila karena tidak bisa menghasilkan uang? Sedari awal bukan itu tujuan Damar. Mestinya aku bisa menerima. Sedari awal, kebahagiaan dan kehangatan seperti itu yang ingin dihasilkannya.
Wanita itu tanpa sadar meneteskan air mata. Sementara Damar masih tidak sadar akan kehadirannya karena wanita itu datang sedikit terlambat. Ia luluh seketika saat tahu bahwa banyak teman-teman Ibu yang sudah lebih dulu duduk di sana. Dan wanita itu enggan bergabung karena merasa malu.
Ia memperhatikan sekitarnya, betapa penampilan Rumah Kecil jauh dari apa yang ada di bayangannya selama ini. Tampilan rumah ini sangat rapi, besar, dan bersih. Tidak terbuat dari tumpukan kardus dan berada di tempat kumuh seperti perkiraannya. Selama ini ia sudah dibuat takut oleh prasangka buruk tanpa mau memastikan kebenarannya apa. Setelah menantang Damar untuk memberikannya bukti, serta datang sendiri melihat apa yang Damar bilang sebagai bukti, barulah wanita itu sadar kalau dirinya selama ini sudah terlalu egois dan sombong; merasa paling benar, merasa berkuasa atas keputusan Damar.
Sebenarnya ketakutan wanita itu dipicu juga oleh kenyataan bahwa dia sudah hidup jauh dari kedua orang tuanya hanya bersama seorang adik laki-laki. Ia ingin bisa memberikan peran orang tua agar adiknya tidak merasa kurang kasih sayang seperti yang dia rasakan. Segala kebutuhan Damar harus bisa dipenuhinya; sekolah, pakaian, makanan, rumah yang nyaman, kendaraan mewah. Ia ingin apa-apa yang melekat pada Damar adalah yang terbaik, termasuk lingkungannya.
Saat tahu Damar memiliki Rumah Kecil, ketakutan wanita itu adalah bahwa Damar akan masuk ke lingkungan yang susah; membagi waktu sekolahnya, memakai pakaian seadanya, makan makanan yang kurang bergizi hingga badannya kurus kering, tinggal di tempat kumuh, dan terpaksa berjejalan di angkutan umum yang penuh sesak.
Tapi sepertinya, gambaran ketakutan seperti di sinetron itu harus ia hapuskan. Sekarang, jelas terlihat bahwa adik satu-satunya itu sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan dan mengurus dirinya. Ia tidak tinggal di tempat kumuh, makanan yang disajikan di atas meja prasmanan juga adalah makanan sehat. Kuliahnya masih berjalan hingga sekarang, pakaiannya bagus meski gayanya sederhana. Terlebih, ia tidak sampai harus menjual kendaraan pribadinya untuk menghidupi Rumah Kecil yang akan membuatnya menaiki kendaraan umum kemana-mana.
Saat acara sudah selesai, wanita itu ikut memberi tepuk tangan dan senyuman. Ia merasa bangga dengan adiknya, dan enggan sekali marah-marah di hari itu. Ambar melihatnya, betapa wanita yang berdiri di sana memiliki raut wajah yang lebih bahagia dari sebelumnya. Ia terlihat seperti sudah kehilangan satu beban di pundaknya sehingga bisa bernafas lebih lega. Menyaksikan itu, Ambar kemudian memberikan isyarat pada Damar bahwa Kak Bunga sedang berdiri di sana, menatap bangga ke atas panggung sederhana.
Damar yang menerima isyarat itu, langsung saja menghampiri Kak Bunga yang saat itu sedang menatapnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kedua adik-kakak itu saling melempar senyum.
“Hai.” Damar menyapa.