“Aku benar-benar berharap Ambar ada di sini. Apa kamu tidak berharap sama?”
“Sstt, acaranya sudah mau mulai.”
“Ah, kamu selalu begitu, mengabaikan setiap ucapanku tentang Ambar.”
UKM Seni masih nampak sama. Sama sibuknya, sama orang-orang di dalamnya. Tapi mungkin sebentar lagi akan ada penghuni baru karena dua bulan dari sekarang, setelah Lomba Drama selesai, mereka akan menerima calon-calon anggota baru.
“Menurutku peserta pertama ini biasa saja. Tapi kenapa dari tadi juri berbisik satu sama lain sambil mengangguk?” pria kurus itu terdengar bicara sendiri, padahal ada seorang perempuan di sampingnya.
“Menurutku mereka bagus. Apa mungkin harapanmu drama mereka sebagus drama yang naskahnya ditulis Ambar?” perempuan itu menimpali dengan tetap menatap panggung, seperti yang dilakukan pria di sampingnya.
“Lihat! Ceritanya sungguh mudah ditebak! Seorang putri yang berteman dengan rakyat jelata, lalu keduanya jatuh cinta tepat saat ada seorang pangeran yang hendak meminang sang putri. Ah, aku malas menontonnya.”
“Apa ceritamu dengan Ambar seperti itu?”
Pria itu akhirnya menatap perempuan di sampingnya.
“Kamu sungguh berisik sekali. Dari tadi menyebut-nyebut nama orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang kukatakan.”
“Mengaku sajalah, Rubi. Kenapa kamu pengecut sekali?”
“Apalagi yang harus kuakui? Jelas-jelas dia yang pergi.”