Saat akhirnya tiba di rumah, Ibu menyambut Ambar dengan hidangan makan malam yang wanginya sudah menggoda sejak di pintu masuk. Ambar memeluk Ibu yang membukakan pintu. Hangat sekali. Sentuhan yang dibuat Ambar berhasil menyampaikan pesan kepada Ibu bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Tapi Ibu adalah orang yang bijaksana. Ia tidak akan bertanya, kecuali Ambar yang bercerita lebih dulu. Hal pertama yang dikatakan Ibu adalah,
“Ganti bajumu lalu kita makan sama-sama. Ibu sudah memasak sayur lodeh kesukaanmu.” lalu tersenyum.
Ambar manut. Oh, betapa ia merindukan sayur lodeh buatan Ibu. Soal memasak, bagi Ambar tidak ada yang bisa lebih handal dari ibunya. Apalagi dalam membuat sayur lodeh. Tingkat kematangan sayuran yang empuk menyatu dengan kuah santan Ibu yang tidak pernah pecah dan rasa gurihnya pas, apalagi jika dimakan berbarengan dengan nasi hangat, rasanya tidak perlu lauk lain lagi di atas piringnya.
“Rasanya tidak pernah berubah. Seperti rasa sayangku untuk Ibu.” anak perempuan itu memuji masakan ibunya.
“Bisa saja kamu. Ayo habiskan.” Ibu tersenyum. Senang sekali bisa makan satu meja dengan anaknya.
Selepas makan, Ambar juga menyempatkan untuk mencuci piring. Ibunya dibiarkan duduk di sofa panjang depan televisi, menonton sinetron kesukaannya yang belum juga tamat di 300 episode. Setelah memastikan dapurnya bersih, Ambar bergabung dengan Ibu. Ia langsung berbaring di pangkuan Ibu yang hangat, lalu Ibu menyambutnya dengan mengelus-elus rambutnya yang panjang di bawah bahu.
“Kenapa masih senang menonton film ini, bu? Lelah sekali sampai 300 episode belum juga tamat.”
“Ya, hiburan Ibu hanya ini saja.”
“Tapi sudah ada hiburan lain yang lebih seru, bu. Acara Talkshow misalnya.”
“Ah, Ibu sering tidak mengerti yang mereka bicarakan. Terlalu modern. Ibu kan sudah tua.”
“Siapa bilang? Ibu cantik tidak pernah menua.”
“Haha. Kamu paling bisa kalau menggoda Ibu.”