Suasana salah satu perumahan elit di kota itu selalu sepi. Penghuninya sibuk bekerja dan sekolah, meninggalkan rumah pagi-pagi. Sepanjang jalan di tiap blok rumah, hanya ramai oleh pepohonan dan bunga-bunga, sesuai dengan tema yang diusung oleh pemilik perumahan; Permata Hijau – perumahan elit dan asri. Jadilah perumahan itu terasa sejuk. Angin sepoi-sepoi selalu bertiup. Panas matahari diserap dedaunan. Banyak burung dan kupu-kupu berterbangan. Apalagi yang kurang? Kolam renang ada. Taman hiburan ada. Minimarket ada. Restoran ada. Pusat olahraga juga ada. Mungkin satu-satunya yang kurang adalah waktu para penghuninya untuk menikmati fasilitas tersebut. Maka jarang sekali ditemukan keramaian di sana. Sesama tetangga jarang bertegur sapa. Ibu-ibu bergosip dengan tukang sayur tidak akan ditemukan di sana – karena tidak akan ada tukang sayur keliling yang datang.
Perumahan itu merupakan salah satu faktor yang mendukung sifat penyendiri Ambar. Ingin berteman dengan siapa? Selain sudah ada Ibu dan Bapak yang selalu menjadi teman bermainnya, ia tidak tahu apa ada sebayanya yang tinggal di dekat rumah atau tidak. Bahkan ia tidak tahu siapa nama pemilik rumah yang berhadap-hadapan dengannya. Ia tidak tahu, dan merasa tidak perlu tahu.
Tapi ternyata ketidak tahuannya berbuah buruk saat kejadian malam itu menimpa dirinya. Saat suara-suara ribut memecah ketenangan. Saat teriakan dan jeritan memecah sepi. Para tetangga tidak bisa mendengarnya, karena dari rumah satu ke rumah lain itu punya spasi. Saat kemudian suara itu hilang, keadaan kembali seperti semula; sepi. Saat Ambar kemudian menuruni tangga dan tidak menemukan siapa-siapa, ia menangis. Sesedih itu ternyata ditinggal seorang diri di tempat yang sepi. Saat pagi-pagi hendak mencari pertolongan, ia bingung. Harus menggedor pintu rumah yang mana? Rumah mana yang masih berpenghuni? Nama siapa yang harus ia panggil? Ia menangis semakin jadi. Hingga akhirnya terduduk di ambang pintu.
Kejadian itu menyisakan trauma untuknya. Beberapa tahun kemudian ia benar-benar menolak orang lain dan tidak bisa ditinggal Ibu, kecuali untuk sekolah. Hingga saat sadarnya mulai pulih benar, ia memberanikan diri untuk melupakan ketakutannya. Untuk mencari teman, untuk tinggal sendiri, untuk tidak ketergantungan dengan Ibu. Ibu membolehkannya, meski dengan takut. Meski akhirnya diputuskan untuk mengizinkan Ambar kuliah di kota yang terdapat sanak saudara di sana. Ibu berjaga-jaga, kalau suatu saat Ambar butuh pertolongan, setidaknya Ibu bisa menghubungi saudaranya dulu.
Bukan hanya berat untuk Ambar, kejadian itu juga sangat berat untuk Ibu. Yang sebenarnya Ambar dengar malam itu adalah benar teriakkan. Teriakan Bapak yang tidak kuat menahan sakit di kepalanya. Seisi kamar terasa berputar. Panik. Teriakkan Bapak membangunkan Ibu yang sedang berbaring di sebelahnya. Membuat wanita itu turun dari ranjang untuk mengambilkannya minum dan obat darurat. Tapi Bapak mendadak tidak bisa menggenggam saat gelas yang diambilnya dari tangan Ibu malah jatuh ke lantai, berbarengan dengan Bapak yang kemudian hilang sadar. Ibu semakin panik. Ia menjerit, tapi tidak ingin menyerah begitu saja.
Diambilnya kunci mobil dari atas meja. Digendongnya Bapak yang berbadan kurus. Seketika Ibu seperti punya kekuatan. Jelas ia harus kuat, harapannya masih ada. Dibawanya Bapak masuk ke dalam mobil, dan tanpa permisi lagi, Ibu menancap gas menuju rumah sakit. Sepanjang perjalan tidak ada hal lain yang diingatnya. Cintanya sedang tergeletak tak sadar di kursi belakang. Ia bisa ingat apa selain jalan menuju rumah sakit terdekat? Bahkan sampai sudah tiba di rumah sakit pun, Ibu tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Tidak ingat anak, tidak ingat keluarga. Hanya ingat Bapak untuk kembali sehat, berdo’a kuat-kuat supaya ada keajaiban. Mereka masih muda. Tidak seharusnya Bapak meninggalkan Ibu di usia yang belum genap berkepala empat. Ibu menangis, banyak-banyak menangis.