Ibu mengenakan pakaian rapi serba putih, bersolek elok, mewangi Parfum buatan Bapak. Ambar pun begitu. Ibunya memberikan baju spesial untuk bertemu Bapak. Memakainya terasa senang, tapi juga khawatir. Selama ini Ambar tidak tahu Bapak ada di mana, sampai suatu hari mereka akan bertemu dengan pakaian resmi nan cantik seperti ini. Memang akan bertemu Bapak di mana? Di kantornya? Di restoran mewah? Ambar benar-benar menghibur diri, membayangkan tempat-tempat bagus yang sekiranya akan dipakai untuk pertemuan mereka. Melupakan kekhawatiran yang bukan-bukan. Baginya masih ada harapan untuk melihat Bapak dalam wujud yang nyata.
Ibu tersenyum menyambut anaknya turun dari lantai dua. Rumah mereka tidak pernah berubah, masih tetap sama. Tidak ada perubahan dekorasi, bahkan warna cat dinding. Semuanya masih sama seperti saat Bapak ada di rumah. Semuanya masih sama seperti perasaan Ibu yang tidak pernah berubah untuk Bapak.
“Sudah siap?”
“Sudah, Bu.” Ambar tersenyum.
“Cantiknya anak Ibu.”
“Wah, Ibu sudah jago gombal sekarang.” Ibu dan anak itu saling melempar senyum.
Mereka lalu berjalan keluar bersama, menaiki sebuah mobil keluarga berwarna hitam. Ibu yang memegang stir, menyempatkan mampir sebentar di toko bunga, mengambil seikat bunga alyssum putih untuk Bapak – bunga favoritnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan, Ambar memperhatikan air muka Ibu untuk menebak-nebak perasaannya. Apa Ibu masih mencintai Bapak yang sudah meninggalkannya? Apa Ibu senang hari ini? Atau justru sedih? Tapi wanita berparas teduh itu susah dibaca air mukanya. Ambar tidak tahu apa isi hati Ibu. Yang ia tahu, perjalanan kali ini asing untuknya. Mereka tidak keluar kota untuk tiba di kantor Bapak. Mereka juga tidak mengambil jalan ke restoran mewah. Betapa akhirnya Ambar menerima kekhawatirannya sejak memakai baju putih tadi. Tapi ia masih tetap melihat Ibu. Melihat betapa kuat wanita di sampingnya menahan sedih sendiri.
“Bu...”
“Kita sudah sampai, nak.” Ibu tersenyum sakit. Tulisan Taman Makam Hijau menyambut mereka.
“Bapak ada di sini? Sedang apa?” Ambar masih mengais kemungkinan-kemungkinan bahwa ia bisa bertemu Bapak dalam wujud yang nyata. Mungkin Bapak adalah pemilik lahan pemakaman ini? Mungkin sebenarnya perusahaan Parfum milik Bapak sudah bangkrut sehingga Bapak bekerja sebagai tukang gali kubur dan meninggalkan Ibu karena malu? Haha. Mungkin...mungkin...mungkin apa? Ia tertawa sakit dalam hatinya membayangkan kemungkinan-kemungkinan gila itu.
“Bapak sedang tidur, nak. Kamu tahu, kan, ia sering kelelahan setelah bekerja.” Ibu menahan tangisnya, memaksa bibirnya untuk tersenyum. Tapi karena itu, raut mukanya malah jadi buruk sekali.
“Kalau lelah, Bapak harusnya beristirahat di rumah, Bu. Bukan di tempat seperti ini. Bisakah kita ajak Bapak pulang? Kasihan Bapak, Bu.” Ambar menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia menangis sejadi-jadinya.