Ambar Merah

Dhea FB
Chapter #32

Penjelasan (1)

Damar membuka halaman pertama sebuah buku catatan bersampul cokelat yang memiliki tekstur kasar. Di halaman pertama, si penulis menaruh tulisan semacam judul buku, ‘Untuk Tuan Sepatu Cokelat’. Di pojok kanan bawah halaman pertama terdapat tulisan yang ukurannya dibuat lebih kecil dari judul di atas, berbunyi ‘dari yang tidak tahu harus menyebut dirinya apa’.

Ini adalah kali kesekian Damar membaca tulisan-tulisan di dalam buku. Tapi belakangan, ia mencoba menggambarkan sosok Tuan di dalam tulisan yang sepertinya nampak familiar. Penulis buku itu menggambarkan sosok Tuan sebagai seorang pria bertubuh kurus dan tinggi, memiliki tatapan mata yang sayu, dan kakinya selalu dibalut sepatu berwarna cokelat yang sudah pudar oleh usia.

Agaknya Damar tidak asing dengan sosok itu. Ia ingat di satu pagi saat dirinya mengikuti Ambar ke salah satu gedung perkuliahan, Ambar bertemu dengan seorang pria tinggi dan kurus yang juga dikenalnya; Rubi. Di ingatannya, dari kejauhan Damar bisa melihat dan cukup jelas ingat bahwa teman sekelasnya di semester satu itu selalu memakai sepatu berwarna cokelat pudar. Selain itu, beberapa kali sempat saat jajan di kantin, Damar juga pernah melihat Ambar sedang makan mie ayam dengan Rubi dan satu lagi teman perempuan mereka. Apa Rubi sosok pria yang dimaksud dalam tulisan ini?

Rasa penasaran adalah hal yang tidak bisa dihiraukan oleh Damar. Sebagaimana dia bisa mendapatkan Ambar untuk menjadi bagian dari acara Perayaan Ulang Tahun Rumah Kecil, ia juga ingin bisa menemukan siapa tokoh di dalam tulisan Ambar ini. Mungkin dia sudah lancang. Tapi jika benar tulisan ini untuk Rubi, kenapa Ambar berhenti dari UKM Seni? Apa itu salahnya karena sudah memaksa Ambar secara halus untuk bisa tergabung dalam Perayaan Ulang Tahun Rumah Kecil? Jika benar begitu, maka Damar merasa sangat bersalah sekali.

Inginnya Damar menghubungi Ambar langsung melalui pesan singkat atau menelponnya. Tapi perempuan itu seperti sedang lenyap dari bumi. Ia tidak bisa dihubungi, tidak juga ada tanda-tanda kemunculannya di media sosial. Ambar seperti sedang bersembunyi, entah dari apa. Seperti sedang menghilang, entah dari siapa.

Damar hanya bisa menunggu. Menunggu semester baru segera datang agar ia bisa secara langsung menemui Ambar. Menunggu seperti saat ia tidak bisa menemukan Ambar di mana-mana tapi malah berpapasan dengannya di bawah pohon sawit. Menunggu... Ya, Damar hanya bisa menunggu.

***

  Sore itu seperti sore pada hari-hari biasanya di Rumah Kecil, tapi dengan perasaan yang lebih baik. Rinai membuat camilan yang terasa lebih enak dari biasanya untuk anak-anak, Damar menemani anak-anak bermain dan belajar dengan senyum paling lebar yang dimilikinya. Waktu kebersamaan Rinai dan Damar sudah lebih banyak saat ini, tepatnya sejak Damar sukses membuat percaya Kak Bunga untuk bisa mengelola Rumah Kecil secara mandiri tanpa menghabiskan uang saku pribadinya. Damar tidak perlu lagi berangkat dari rumah dengan perasaan berat karena dipandang sebelah mata oleh Kak Bunga, tidak perlu lagi ketakutan membayangkan kepindahannya ke Pulau Besar, tidak perlu lagi merasa hilang semangat karena kegiatan yang disukainya tidak mendapat dukungan dari Kak Bunga. Mulai hari itu – saat Kak Bunga datang ke Perayaan Ulang Tahun Rumah Kecil – Damar dan Kak Bunga sudah kembali mengisi peran adik-kakak. Mereka saling dukung, saling membantu, saling percaya, dan tertawa bersama.

Tapi di sore itu juga, Damar kedatangan tamu yang tidak pernah ia duga. Pemeran utama dari tulisan yang sudah belasan hari membuatnya penasaran.

“Hai Rubi!” sapa Damar yang melihat pria itu di depan pagar.

“Oh, Damar. Hai!” pria itu nampak ragu, seperti ingin masuk tapi tak mau. Damar menghampiri pria itu, mengajaknya masuk melewati pagar yang selalu terbuka untuk siapa saja.

“Aku tidak berniat lama di sini.”

“Ayolah, ada yang ingin kutanyakan dan kebetulan sekali kau datang. Kita bisa bicara di dalam.” dengan ramah sang tuan rumah mengajak tamu itu masuk ke dalam. Sang tamu pun menerima keramahan tuan rumah. Ia ikut ke dalam sembari menyapa anak-anak yang sedang bermain di halaman depan.

Mereka duduk di sudut ruang baca yang memiliki sofa panjang dan sebuah meja dengan dekorasi tanaman anggrek di atasnya. Lukisan khas anak-anak banyak menggantung di sana, dan balutan bingkai kayu membuatnya nampak seperti lukisan berkelas yang bisa menghiasi ruangan. Tak berselang lama Rinai datang membawakan kue kering dan dua cangkir teh hangat.

“Perkenalkan, ini kekasihku, Rinai namanya.” Damar memperkenalkan perempuan yang pandai memasak itu kepada tamunya.

Lihat selengkapnya