Sore itu langit sedang cerah. Cuacanya tidak panas, tidak juga mendung. Sepertinya langit kota itu – yang semula memiliki dua matahari – sudah kehilangan satu mataharinya, dan hanya tersisa satu yang kesepian sehingga tidak bersinar dengan terang.
Damar melanjutkan ceritanya. Ia merasa perlu menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Ambar, karena jika seorang pria yang sedang khawatir dengan keadaan wanitanya tapi malah menemui pria lain, maka berarti pria itu sedang cemburu dan hendak memperingatkan kepada pria lain itu untuk menjauh. Aku perlu tahu apa kedatangannya kemari selain untuk mencari Ambar adalah karena cemburu atau percaya padaku?
“Aku sedang berada di titik terendah saat penampilan Monolog Ambar berhasil menghibur hatiku. Bagiku dia cemerlang di atas panggung, meski ia pernah bilang bahwa itu adalah penampilan pertamanya, tapi aku benar-benar sudah jatuh hati melihat penampilannya.” Damar bercerita untuk menguji Rubi. Jika dia tidak bisa menjawab pertanyaanku, biar aku yang mencari tahu. Apa alasannya melepas Ambar tapi kemudian dia cari juga?
“Setelah itu aku benar-benar mencarinya. Hal pertama yang kusadari adalah dia bukan dari jurusan seni, karena aku tidak pernah bertemu dengannya di gedung perkuliahan jurusan seni. Lalu di awal masuk semester baru, aku berusaha mencarinya di Galeri. Aku selalu duduk di dekat aula yang bisa terlihat pintu masuk Galeri dari sana, tidak ingin ketinggalan langkahnya barang sejengkal saja. Tapi meski sudah kukorbankan seminggu kelas kuliahku, aku tidak juga menemuinya.”
“Sejauh itukah? Apa kau benar-benar terobsesi padanya?” gejolak cemburu Rubi mulai terbaca. Tapi Damar merasa tenang, ah, ternyata benar dia cemburu. Pria itu cepat sekali membaca situasi.
“Tentu. Aku membutuhkannya untuk Rumah Kecil. Dia adalah perempuan berbakat. Kau pikir apalagi alasanku mencarinya? Aku yakin Ambar sudah menceritakan Perayaan Ulang Tahun Rumah Kecil padamu, serta alasan di balik acara itu dirinya harus terlibat.”
“Kurasa kau benar. Tapi aku lupa.” Entahlah. Entah Ambar memang tidak sempat cerita atau Rubi yang tertutup cemburu untuk mendengar cerita Ambar.
“Ketahuilah, Rubi. Selama melatih teater, tidak ada satu hari pun dia tidak merindukan UKM Seni. Aku mengetahuinya saat sering tidak sengaja kulihat dia memperhatikan sebuah lukisan pohon pinus di lantai atas. Lukisan itu kutaruh di dinding sebelum pintu masuk ruangan tempat anak-anak berlatih teater, dan lukisan itu kubeli dari pameran Pentas Seni sesaat sebelum kulihat pertunjukkan Ambar. Aku merasa lukisan itu untukku karena judulnya Damar Bunga.”
“Ambar begitu?”
“Ya. Aku tak pernah salah memperhatikan.”
“Saat kau cari dia di awal semester, dia memang sedang tidak datang ke Galeri karena mungkin aku telah berbuat salah padanya karena dia menghindariku. Sampai sekarang aku tidak tahu masalahnya apa. Dan kau bilang lukisan dari pameran itu berjudul Damar Bunga? Itu lukisanku!” Rubi merasa seperti ada harapan. Ia seperti sedang mengais sisa-sisa perasaan Ambar yang ditinggalkannya berceceran di mana-mana.
Sementara Damar semakin yakin, rasa penasarannya semakin terjawab, ia tahu sosok pria bersepatu cokelat pudar di dalam tulisan Ambar adalah Rubi.
“Kalau begitu kurasa kau mesti tahu satu lagi yang menjadi milikmu. Tunggu sebentar.” Damar pergi ke kamarnya dan kembali dengan sebuah buku catatan di tangannya.
“Ambar tidak sengaja meninggalkan ini. Aku penasaran sekali dengan tokoh di dalam tulisannya. Dan kurasa sekarang penasaranku sudah terjawab. Juga, aku tidak perlu lagi merasa bersalah.” Damar merasa lega sekaligus khawatir. Ia lega karena ternyata penyebab Ambar keluar dari Galeri bukan karena dirinya., tapi juga khawatir karena temannya sedang punya masalah percintaan.
Dibukanya buku catatan bersampul cokelat itu oleh Rubi. Tulisan “Untuk Tuan Sepatu Cokelat” menyambut Rubi di halaman pertama dengan tulisan kecil di bagian bawah kiri yang berbunyi “dari yang tidak tahu harus menyebut dirinya apa”. Rubi pelan-pelan sekali membuka tiap lembaran itu. Ia baca satu-persatu tulisan di dalam buku itu.
Pesan