“Selamat pagi, Ibu! Sini duduk, Ambar sudah buatkan sarapan untuk Ibu.”
“Bubur sayur? Hmm... Haruskah Ibu kasih nilai?”
“Semoga Ibu suka.” Perempuan itu tersenyum manis sekali.
Hari-hari selanjutnya setelah berkunjung ke rumah Bapak, Ambar semakin membaik suasana hatinya. Ia merasa satu beban berat di dalam dirinya sudah terasa ringan. Mengetahui keberadaan Bapak membuatnya sakit sekaligus lega. Ah, ternyata Bapak sudah lebih dulu pergi ke rumah abadinya. Aku tidak perlu lagi khawatir soal keadaan Bapak. Ia sudah ikhlas, dan mungkin faktor utama keberhasilan ikhlasnya adalah karena ia sudah terbiasa hidup tanpa Bapak selama delapan tahun.
“Hari ini Ibu mau ke mana?”
“Toko bunga. Seperti biasa. Oh ya, Pamanmu bilang dia sudah mengirimkan data tentang perusahaan Parfum yang kamu minta. Kamu yakin mau ikut mengelola perusahaan peninggalan Bapak?”
“Ya, belajar sedikit demi sedikit, bu. Lagi pula itu peninggalan Bapak.”
“Tapi Ibu tidak mau kalau itu membebani kamu. Sejak kapan kamu suka bisnis? Di toko bunga saja hanya fokus merawat bunga-bunganya, bukan melayani pembeli atau duduk di kursi kasir.”
“Itu kan, dulu, Bu. Sekarang sudah sering melayani pelanggan, loh. Ambar coba ya, boleh? Hehe.”
“Ya, terserah kamu saja. Nanti periksa e-mail dari Paman, ya.”
“Okay Ibu!”
Ambar juga sudah mulai membuka diri. Mengetahui perusahaan Parfum peninggalan Bapak kini dikelola oleh Paman, membuatnya tergerak untuk ikut belajar di sana. Apalagi dulu sewaktu kecil Bapak senang sekali memberikannya varian harum Parfum yang baru. Meski tidak langsung bekerja di sana karena dia masih menjadi mahasiswi, tapi Ambar sudah ingin mulai mengenal bagaimana kinerja perusahaan milik Bapak itu. Ia ingin ada di sana, agar bisa terus merasa dekat dengan Bapak.
Di hari lain, Ambar juga mulai membaur dengan para tetangga. Ibu yang sudah lebih dulu berhubungan baik dengan para tetangga, dengan senang hati membuat kue atau masakan rumahan agar bisa Ambar berikan ke rumah-rumah tetangga. Setiap pintu yang diketuknya dan kemudian dibuka oleh pemilik rumah, Ambar akan memperkenalkan diri sebagai anak dari Ibu dan Bapaknya. Hidupnya terasa mulai berwarna dan penuh dengan orang-orang baru. Rasanya hampir sama seperti saat dia di UKM Seni; berkenalan dengan orang asing, saling sapa, banyak bicara. Ia mulai terbiasa dengan ‘Ambar yang baru’. Ambar yang wajah datarnya sudah banyak senyum. Ambar yang mulut rapatnya sudah mulai terbuka tanpa perlu pura-pura.