“Hmm... Harum masakanmu tercium sampai kamar Ibu. Masak apa?”
“Cuma telur gulung, Bu. Sepertinya kita harus pergi belanja.”
“Oh, ya. Ibu lupa karena toko bunga sedang ramai akhir-akhir ini. Kalau kamu saja yang belanja bagaimana?”
“Boleh, Bu. Habis sarapan ya.”
“Sudah matang?”
“Sudah. Ayo sarapan, Bu!”
Di antara suara heningnya rumah, sendok dan garpu yang beradu piring kaca, Ibu kembali membuka percakapan. Mereka senang sekali berbincang saat sedang sarapan, seolah sebagai bentuk lain dari menanyakan kabar masing-masing setelah terpisah semalaman.
“Habis belanja mau ke mana?”
“Hmm... belum tau. Ibu mau aku ke toko bunga?”
“Kamu sudah tidak mempelajari data-data dari Paman?”
“Ternyata susah, Bu. Aku sedang ingin istirahat di toko bunga Ibu.”
“Nah, apa Ibu bilang! Sudah, tidak usah ikut-ikutan, ya? Kamu fokus kuliah saja dan mengerjakan apa yang kamu suka. Lagipula Bapak tidak pernah memaksa kamu kalau tidak ingin melanjutkan bisnisnya.”
“Tapi aku ingin. Bukankah aku akan bisa merasa dekat dengan Bapak bila bekerja di perusahaannya?”
“Ambar... Bapak itu ada di dalam hatimu, bukan di dalam gedung perusahaannya. Kamu tidak perlu bekerja di tempat yang tidak kamu suka hanya karena ada seseorang yang kamu sayang di sana.”