Ambar Merah

Dhea FB
Chapter #37

Sama-sama Batu

Angin masih senang membuat dedaunan menari-nari. Tiupan yang dibawanya dingin, meski matahari sudah tidak lagi mengintip di langit. Mungkin karena ini masih pagi. Jarum pendek pada sebuah jam tangan yang digunakan oleh seorang perempuan itu menunjuk angka delapan sebagai pemberitahuan waktu saat ini, menegaskan kalau sekarang memang masih pagi.

“Tidak, ini tidak terlalu pagi dibanding saat mengejar kelas kuliah semester lalu.”

“Kamu bercanda? Kalau di jam segini sudah sampai rumahku, berarti dari kota sana kamu berangkat lebih pagi sekali.”

“Tapi kami pakai mobil, bukan kereta. Jadi waktu perjalanannya lebih cepat. Di sini tidak pernah macet, ya?”

“Mana bisa macet. Kota kecil begini.”

“Ini kota?”

“Hahaha.”

“Loh, ketawa? Aku kan sedang bertanya?”

“Sudahlah, mau menemaniku belanja, kan?”

“Iya. Hei, tunggu!”

Kegiatan belanja Ambar pagi itu tidak jadi sendiri. Beberapa waktu sebelumnya, ia kedatangan tamu, Rubi dan Damar. Terkejut? Jelas sekali. Mana bisa dia mengira Rubi dan Damar akan datang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Tapi yang terjadi benar adanya. Mereka menekan bel pintu rumah Ambar pukul 07.47 pagi.

Ambar sempat mempersilahkan mereka masuk. Ibu yang menyusul ke ruang depan bingung karena dua laki-laki muda itu tidak mungkin menjadi tamunya. Tapi kemudian Ambar memperkenalkan mereka kepada Ibu, sambil menegaskan nama salah satu laki-laki yang memakai kaus hitam dengan kemeja kotak-kotak berwarna cokelat sebagai luarannya,

“Yang ini Rubi, Bu.”

Ibu langsung sadar tanpa perlu diberi kode tambahan oleh Ambar bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang barusan diceritakannya.

“Ambarnya mau pergi belanja. Rubi bisa tolong antar Ambar?”

“Bu?” anak perempuannya bingung.

“Oh tapi kalau nak Rubi keberatan dan masih lelah tidak apa. Duduk-duduk saja dulu.”

“Boleh, Bu. Saya mau mengantar Ambar.”

"Rubi?”

“Nah, sudah pergi saja. Saya jaga Ibu di sini, ya?” Damar menimpali percakapan mereka.

“Ya, tentu boleh. Kalau Damar mau ikut Ibu ke toko bunga juga boleh.” Ibu tersenyum.

Dan seperti itulah keputusan pagi yang akhirnya disepakati. Rubi dan Ambar sama-sama pergi ke pasar untuk berbelanja. Sepertinya Ibu paham kalau mereka memang perlu waktu untuk bicara berdua, makanya wanita berwajah teduh itu meminta Rubi untuk mengantar anaknya belanja. Sementara Damar benar ikut Ibu ke toko bunga. Laki-laki ramah itu juga menangkap maksud Ibu dengan tanggap. Tidak salah juga kalau dia ikut Ibu ke toko bunga, karena Damar bisa sekalian membuat hadiah untuk Rinai, sebuah rangkaian bunga yang diajarkan oleh Ibu.

Pasar sudah cukup sepi di jam delapan. Ambar dan Rubi tidak buru-buru dalam menikmati waktu. Mereka mampir di beberapa kios yang Ambar butuhkan dagangannya.

“Jadi, mau beli apa dulu?”

“Sayur. Ibu sangat suka sayur.”

Meski sadar keduanya berjalan lambat, belum juga ada yang memulai percakapan serius. Belum ada yang melontarkan kata maaf atau kalimat-kalimat serius lainnya. Mereka sadar kalau ada yang harus dibicarakan, tapi masih bingung memulainya dari mana. Akhirnya Ambar mengambil langkah cepat, berusaha menyelesaikan belanjanya segera. Rubi yang tidak terlalu mengerti bagaimana cara memilih ikan segar atau bumbu apa yang harus dibeli untuk membuat sayur lodeh, hanya bisa mengikuti Ambar di sebelahnya sembari sesekali mengeluarkan kalimat-kalimat pemecah keheningan di antara keduanya.

“Kamu selalu belanja sendiri?”

“Tidak juga, kadang aku pergi bersama Ibu.”

“Berarti kalau kamu lagi kuliah, Ibu yang belanja sendiri?”

“Ya aku juga akan belanja sendiri di sana, untuk bawa bekal.”

“Lain kali kamu bisa ajak aku lagi.”

Ambar menatap pria itu sebentar, lalu semakin mempercepat kegiatan belanjanya. Ia sudah hapal kios-kios mana saja yang jadi langganannya. Maka setengah jam kemudian mereka sudah selesai berbelanja.

Lihat selengkapnya