Ame

Haifa Artanti
Chapter #2

Mara si Pemain Teater

Ini hari pertama Ame mulai untuk bekerja. Ia menaiki bus ke pemberhentian terakhir dan dijemput oleh penjaga rumah Sabrina. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya berdiam tanpa obrolan. Sebenarnya Ame merasa sangat tidak nyaman. Tapi ia juga tidak tahu ingin memulai obrolan apa. Namun akhirnya ia memutuskan untuk bertanya.

“Bapak udah kerja dirumah itu berapa lama?” tanya Ame dengan hati hati.

“Tidak perlu basa basi dek. Saya tahu kalau Ibu Sabrina melarang adeknya untuk mengobrol dengan penghuni rumah selain Rosalie. Rumah saya ada dihutan hutan itu dek. Saya bangun rumah disitu karena tenang,” jawab bapak itu seraya tersenyum.

Ame menjadi bertambah tidak nyaman. Ia tidak menyangka kalau seorang penjaga saja bahkan dilarang untuk berbicara dengannya atau tepatnya dia yang tidak boleh berbicara dengan penghuni rumah lain termasuk bapak penjaga. Ame kemudian terdiam kembali. Ia benar benar heran kenapa Sabrina melarang dirinya berbicara dengan penghuni lain. Ame mencoba menjawabnya dengan banyak alasan yang sekiranya logis dan masuk akal untuk mejelaskan situasi ini. Mungkin saja Sabrina ingin ia fokus saja pada pekerjannya menjadi pengasuh. Mungkin saja…

Ame tersadar dari lamunannya saat mobil itu sudah sampai tepat di depan pintu rumah. Ia segera turun tanpa mengucapkan terima kasih, walaupun sebenarnya terasa sangat tidak nyaman. Setelah itu ia masuk kedalam rumah. Saat hendak melangkah ke pintu ketiga, tiba tiba langkahnya terhenti. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan pintu pertama. Ia hanya ingin sedikit mengintip, sedikit saja. Tapi ia mundur dan kembali ke pintu ketiga, tidak jadi. Ame baru hari pertama bekerja. Akan sangat memalukan jika ia mengintip dan membuka ruangan tanpa ijin. Selain memalukan, tindakan itu juga sangat tidak sopan dan jika nanti Sabrina memecatnya.

Ame membuka pintu ketiga dan melangkah. Dibalik pintu ketiga berisi tangga yang sisinya langsung terapit tembok. Kedua sisi tembok itu berisi lukisan lukisan seperti peperangan namuan beberapa juga terlihat seperti perbudakan. Ame hanya bisa menangkap dua bentuk lukisan itu. Sisanya abstrak, benar benar sulit untuk dipahami. Mungkin suatu saat nanti ia akan memahaminya. Suatu saat nanti mungkin, jika ia setiap hari melihat lukisan lukisan itu dalam jangka waktu yang lama. 

Setelah selesai pada tangga yang disisinya terdapat lukisan lukisan, terdapat ruangan luas dengan berbagai pintu. Ruangan itu putih bersih. Bahkan pintunya juga dicat putih. Ruangan itu seperti lorong yang panjang namun luas. Pintu paling ujung adalah pintu milik kamar Rosalie. Berbeda dari yang lain, pintu kamar Rosalie berwarna merah. Kemarin Ame belum masuk ke kamar Rosalie tapi sekarang ia akan kesana.

Ame mencari Rosalie bermaksud menyapanya dan bertanya apa biasanya kegiatannya. Ame merasa tidak enak untuk berteriak keras. Jadi dia hanya bisa berkeliling pada ruangan yang kemarin sudah diberitahu oleh Sabrina karena sebelumnya, ia tidak menemukan Rosalie di lantai pertama bahkan di ruangan pintu kedua. Maka dari itu, karena ia tidak ada di lantai bawah, Ame berjalan menuju kamar Rosalie sambil mencarinya. Memperhatikan sekeliling.

Saat sudah sampai di depan pintu, Ame mengetuknya namun tidak ada jawaban. Ame memanggil nama Rosalie tapi hasilnya nihil dan ternyata pintu itu terkunci. Ame menghela nafas. Saat ia kebingungan, ia justru mendengar suara tangis. Yap betul, pendengarannya tidak salah, memang ada seseorang yang menangis. Kemudian Ame mencari suara tangisan itu. Suara itu terdengar dari sebuah kamar sehingga Ame mengetuk pintu kamar tersebut.

“Apa Anda baik baik saja?” tanya Ame perlahan. Siapa tahu orang yang menangis itu tahu dimana keberadaan Rosalie atau mungkin saja itu Rosalie. Orang itu membukakan pintu dan mempersilahkan Ame masuk kamarnya. Ia masih menangis sambil tersedu sedu. Dia memang tidak berteriak, tapi suara tangisannya cukup jelas. Ame menghampiri orang itu yang duduk di kasurnya.

Ame menepuk nepuk sisi lengan orang itu. Diantara tangisan orang tersebut ia berkata, “Pernikahanku gagal…dia tidak mencintaiku…aku…aku…sendirian.”

Ame benar benar merasa iba. Dia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Dia meninggalkan Anda?” tanya Ame berhati hati.

“Ya, dia meninggalkanku. Dia berkata aku gila,”

Ame menepuk nepuk bahu orang tersebut. Kali ini, Ame lebih mendekat untuk memeluknya. Mungkin orang itu butuh sebuah pelukan, agar merasa ditemani dan tidak merasa sendirian.

“Orang orang meninggalkanku. Sekarang aku sendirian, ku rasa aku memang tidak pantas untuk hidup,” ucap Mara terisak. Ame menggeleng.

Lihat selengkapnya