Ame

Haifa Artanti
Chapter #10

Bertemu Lagi

Hari ini Ame ke rumah Sabrina seperti biasa. Pikiran pikiran tentang Sabrina dan rumah anehnya ini sesaat hilang dalam otaknya. Ame mencoba berfokus pada pertanyaan apa saja yang akan ia katakan nanti karena otaknya benar benar ramai. Padahal sekarang ia sedang berada di perpustakaan bersama Rosalie. Rosalie dengan tenang duduk disebuah kursi dan Ame pun begitu. Karena isi kepala Ame benar benar ramai, ia menjadi tidak fokus pada buku di depannya. Buku itu hanya seperti pajangan saja.

Hari ini terasa amat lama dan panjang karena Ame terus menunggunya. Setelah sampai di pemberhentian bus, ia langsung mencari bus yang menuju ke daerah dosen pembimbing Sabrina. Perjalanannya memakan waktu yang cukup lama karena berada di daerah yang cukup jauh dari kota. Walaupun hari sudah menjelang sore, Ame tetap nekat kesana. Ia ingin pertanyaan pertanyaan di kepalanya segera usai, atau setidaknya terjawab.

Ame membenarkan totebagnya. Ia memeriksa apakah buku itu masih ada atau tidak. Semenjak Rosalie memberikan buku ungu itu untuk Ame, ia jadi membawanya kemana mana dengan totebagnya. Apalagi hari ini akan bertemu dengan penulis aslinya. Tentu saja Ame akan membawa buku itu.

Ame menatap keluar jendela bus. Jalanan semakin sepi dan lengang karena bus sudah semakin jauh dari kota. Pemandangan hutan memenuhi mata Ame kali ini. Matahari juga sudah semakin tidak terlihat. Untuk kesekian kalinya Ame menghela nafas. Dalam hidupnya, ia tidak pernah senekat dan seberani ini. Dulu ia hanya mahasiwa jurusan psikologi baik baik, kuliah tepat waktu, banyak belajar dan membaca buku, nilai yang selalu mendekati sempurna dan tidak pernah membolos. Ya satu dua kali ijin pernah. Tapi untuk membolos itu sangat tabu untuk Ame. ia memang ingin kuliah dengan baik baik, lulus tepat waktu, bekerja dan meringankan beban kakaknya.

Namun semenjak bekerja di rumah Sabrina, entah kenapa keberanian yang tidak pernah ditunjukkan oleh dirinya justru muncul. Ame lebih sering mendengar kata hati dan keinginannya. Bahkan Ame baru menyadari sisi lain dirinya yang sangat suka penasaran terhadap sesuatu. Ia memang cemas karena banyak hal, namun disisi lain ia juga sangat penasaran.

Salah satu contohnya adalah Sabrina dan rumahnya, serta Rosalie. Ame merasakan keanehan luar biasa yang tidak pernah di rasakannya. Kenapa hati dan pikirannya terus fokus pada mereka. Sebenarnya apa yang di inginkan Ame setelah mengetahui lebih jauh soal mereka? Apa yang hatinya coba tunjukkan untuk dirinya? Apakah perasaan Ame tahu kemana ini akan melangkah? Ah, logika Ame saja tidak menerimanya. Inilah sumber kenapa kebingungan itu dapat muncul. Selalu ada dua sisi dari suatu peristiwa dan juga selalu ada dua sisi pada dari diri manusia.

Kini matahari sudah tidak terlihat. Jalanan gelap dan penumpang bus juga semakin sedikit. Ame tidak bergeming dari tempatnya. Sebenarnya badannya sudah sangat lelah. Ia perlu berbaring di kasurnya yang nyaman namun keinginannya menolak itu. Lebih tepatnya bukan keinginannya, tapi hasratnya. Sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ditolak dan terasa sangat jauh dalam di dalam jiwanya. 

Setelah beberapa saat tenggelam dalam lamunan, supir bus itu berkata bahwa Ame telah sampai di daerah yang ia cari. Tempat ini sebetulnya tidak jauh hingga ke luar kota. Tapi karena tempat itu berada di daerah yang cukup pelosok, Ame jadi tidak mengetahuinya. Walapun sebenarnya Ame itu juga tidak tahu mana mana selain rumahnya dan kampus, namun untuk daerah yang satu ini ia benar benar tidak tahu. Ame telah meminta ijin pada kakaknya untuk pulang telat dan akan menginap dirumah Luna. Sekarang, ia harus menyusuri jalanan sepanjang desa, mencari alamat yang dimaksud, atau bertanya pada orang jika sudah selesai maka ia akan pulang ke tempat Luna.

Tapi kenyataan terkadang tidak semudah itu. Saat Ame bertanya pada orang orang, mereka menunjukkan wajah yang sedih. Ternyata dosen itu telah pindah ke suatu tempat dan warga di daerah tersebut tidak tahu mereka pindah kemana. Mendengar hal itu, kaki Ame langsung lemas. Tiba tiba rasa antusiasnya hilang dan seluruh kelelahannya kali ini sangat terasa. Tiba tiba dirinya berjongkok di pinggir jalan. Perasaannya kini sangat takut. Hari sudah gelap dan ia tidak tahu daerah ini. Mendapat kendaraan disini juga mustahil sepertinya karena daerahnya benar benar sepi. Ame telah putus asa dan pasrah. Ia tidak tahu harus melakukan apalagi.

Tiba tiba seseorang menepuk bahu Ame. karena ditepuk bahunya, Ame mendongak bermaksud mengetahui siapa orang yang telah menepuknya. Ah, Ame mengenal wajah dan fisik itu. Wajahnya yang manis dan fisiknya atletis, membuat Ame tidak ragu. Wajah yang ia kenal sebagai pembawa firasat buruk. Senior yang pernah ia temui saat acara reuni alumni dikampus. Ame hampir menangis karena ketakutan yang bercampur dengan rasa syukur. Namun ia mengurungkan niat itu.

“Sedang apa kamu disini?” tanya senior itu. Namun wajahnya menunjukkan ekspresi yang kurang ramah. Tidak seramah saat pertemuan pertama mereka dikampus.

Mengetahui ekspresi seniornya yang kurang ramah, Ame merasa tidak enak. Padahal tadi ia ingin meminta tolong agar ia bisa pulang kerumah. Karena Ame memang sudah tidak ingin mencari rumah dosen Sabrina itu. Ternyata firasat Ame tentang senior itu benar. Ada sesuatu yang membuat ia curiga bahkan tidak nyaman akan seniornya itu.

“Emmm...saya sedang mencari rumah seseorang,” jawab Ame.

“Pulang saja sana. Ini sudah malam dan terlalu berbahaya untuk kamu,”

Mendengar jawaban seniornya, Ame justru menjadi curiga. Biasanya orang akan bertanya, siapa rumah yang kamu cari? Apa sudah ketemu? atau bertanya apapun untuk ramah tamah. Tapi kenapa senior ini hanya menyuruhnya pulang?! batin Ame. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Apa jangan jangan senior tahu soal dosen Sabrina? Itulah yang dipikirkan Ame.

“Kenapa senior menyuruh saya pulang? Padahal saya sedang mencari sesuatu yang sangat penting,” jawab Ame. Ia ingin memberi kode atau umpan. Jika senior itu termakan, maka mungkin saja ada sesuatu dibaliknya.

“Kamu cari apa sih? Rumah? Rumah yang udah nggak ada orangnya?” ujar senior itu spontan. Ia yang merasa kelepasan bicara segera mendengus kemudian berbalik pergi.

Ame yang sedari tadi masih berjongkok kemudian berdiri.

“Senior tahu rumah itu kan?! Kenapa tiba tiba senior kesini?!” tanya Ame langsung to the point.

Senior itu berhenti. Kemudian ia melanjutkan jalannya lagi. Mengetahui seniornya terus berjalan, Ame mengikutinya dari belakang. Ia tidak akan berhenti hingga mendapat apa yang ia inginkan. Walaupun fisiknya sudah menolak, tekadnya tidak pernah berputus asa. Ya jawabannya hanya dua, Ame sudah sangat penasaran dan ia juga sudah sejauh ini. Menyerah tiba tiba bukan pilihan sekarang.

“Saya tahu kalau senior mungkin mengetahui sesuatu,” ucap Ame yang berjalan dibelakang seniornya. Seniornya hanya mengabaikan Ame, bersikap tidak peduli.

“Berhubung saya tidak tahu caranya pulang, jadi sepertinya saya harus ikut senior,” ucap Ame lagi. Ia bermaksud untuk membuat seniornya itu mau menjawab pertanyaannya. Ia ingin terus mendesak seniornya itu. Walaupun terkesan kaku karena Ame sangat tidak terbiasa basa basi seperti ini, ia tetap mencoba. Ame mengubah prasangkanya terhadap senior itu. Walaupun di hari pertama merasa tidak nyaman, namun akhirnya kini Ame bisa merasa cukup nyaman. Sepertinya ia akan ‘tetap hidup’ walaupun bersama seniornya ini.

Lihat selengkapnya