Lu mengantar Ame menuju rumah Sabrina. Alasannya karena Lu sangat penasaran dengan rumah itu dan seperti apa kelihatannya. Apakah rumah itu seperti apa yang di ceritakan Ame atau bagaimana? Jika ada kesempatan, Lu ingin melihat dan bertemu Sabrina secara langsung. Walapun sebenarnya Ame sudah menunjukkan foto Sabrina yang berada di smartphonenya, tapi Lu merasa belum puas. Ingatannya juga masih samar samar tentang siapa perempuan yang sering ke rumahnya dulu. Jadi ia tidak bisa memastikan itu Sabrina atau tidak.
Dalam perjalanan, Ame dan Lu banyak mengobrol.
“Kalau kamu nggak kerja atau telat seperti ini, gimana bapak penjaganya? Beliau kan biasanya jemput kamu,”
“Ahh kalau soal itu aku juga nggak tahu. Selama ini aku cuma bicara dengan Sabrina kalau urusan pekerjaan. Haahhh ya ampun, kenapa tiba tiba aku merasa tidak pernah bekerja di sana ya? Hahaha! Aku merasa tidak tahu apa apa. Betapa memalukannya aku ini,”
“Yang membatasi diri kan pihak sana. Terus salah kamu di mana? Kamu nggak harus mengetahui urusan semua orang bukan?”
“Yah tapi...” Ame menghela nafas.
Tak terasa, obrolan tadi telah membawa mereka ke rumah Sabrina. Ame meminta Lu untuk mengantarkannya seidikit ke depan. Jadi tidak berhenti tepat di depan gerbang rumah Sabrina karena kebetulan Lu juga memiliki urusan mendadak. Ia juga tidak jadi bertemu dengan Sabrina.
“Makasih Lu,” Ame berkata seraya keluar dari mobil. Ia melambai pada Lu yang segera pergi.
Kemudian Ame segera masuk ke dalam rumah. Kebetulan bapak penjaga sedang tidak ada, jadi ia merasa lebih lega. Setelah masuk ke dalam rumah, Ame segera pergi ke lantai dua. Namun saat melewati tangga yang di antara dindingnya ada lukisan, Ame berhenti sejenak di sana. Ia menatap lukisan dinding itu dengan seksama. Kemudian ia teringat dengan obsesi Sabrina pada buku itu. Ah, Ame jadi ingin segera pulang dan menyelesaikan buku Ayah Lu itu.
Saat asik menatap lukisan itu, tiba tiba Ame mendengar suara teriakan. Ia pun menuju ke sumber suara.
“Lepaskan aku!” teriak anak itu lagi. Tangannya di genggam oleh Bima. Bima mencengkeram tangan anak itu dengan sangat kuat.
Saat Ame muncul, Rosalie juga datang. Mereka muncul datang secara bersamaan. Melihat Rosalie datang, Bima segera melepaskan tangan anak itu. Bima melepaskan tangan anak itu dengan kesal. Ia seperti meracau sendiri dan mengacak rambutnya. Kemudian ia segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.
Kemudian Rosalie kembali ke kamarnya dengan cuek. Ame yang merasa tidak tega pada anak itu segera menghampirinya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan aturan rumah itu karena sebentar lagi dirinya juga akan mengundurkan diri. Ame melihat tangan anak itu yang merah. Tidak hanya merah, tapi ada luka di bagian lain. Karena tidak tega, Ame bertanya di mana kamar anak itu untuk mengobatinya.
“Apa di kamarmu ada kapas dan obat merah?” tanya Ame.
Anak itu mengangguk.
“Siapa namu kamu?”
“Rania,”
Rania membawa Ame ke kamarnya. Rania mempersilahkan Ame untuk duduk, sementara ia sendiri sedang mencari obat merah. Ame memerhatikan kamar Rania. Kamar dengan cukup banyak barang namun sangat rapi. Kemudian Ame memerhatikan Rania yang sedari tadi dia tidak menemukan obat merah. Setelah cukup lama mengamati, Ame merasa ada yang aneh pada Rania. Kenapa Rania seperti itu?
***
Ame pulang ke rumah dengan perasaan kesal. Bayangkan saja, tadi Rosalie benar benar tidak mau berbicara padanya sama sekali. Bahkan untuk menatap saja tidak. Rosalie memang jarang bicara. Tapi kalau yang ini, Ame tahu bahwa Rosalie sedang marah karena dari awal Rosalie telah mengabaikan Ame. Tapi kenapa?
Setelah membersihkan diri, Ame menuju ruang makan untuk menemui kakaknya. Ia ingin membicarakan berhenti bekerja di rumah Sabrina dan menceritakan semua yang di alaminya kemarin. Namun hatinya tak sampai ketika melihat kakaknya sangat sibuk di laptop. Mata dan tangannya fokus pada benda itu, tanpa melihat sedikitpun ke arah Ame.