Termenung melihat pasangan muda-mudi dengan gaya busana mereka yang sangat elok untuk dilihat, mengoyak rasa, melebur pilu rasa rindu dan menyentuh hati di tahun 98 ini. Kontras sekali dengan kehidupan seorang perempuan mandiri yang sangat sulit untuk ditemukan nilai keindahannya. Atau mungkin dia hanya tidak mampu mensyukuri apa yang sudah Tuhan titipkan kepadanya. Dia duduk bersama dengan segelas air putih yang ditatapnya penuh harap, “tahukah dia bila aku rindu?,” tanya seorang perempuan tersebut kepada gelas dihadapannya.
Setitik ingatan pilu nan menyedihkan mulai menghujani pikiran nya. Dimana tempat ia lahir dan berkembang sekarang sedang tidak baik-baik saja. Kericuhan ada dimana-mana, hutang negara yang terus meningkat hingga demonstran yang bertambah setiap harinya. Sedangkan ia dengan tanpa berdosa seolah tega meninggalkan sanak saudaranya di sana tanpa memberi mereka bantuan, termasuk kekasihnya yang hidup nelangsa sendirian tanpa kehadiran dirinya. Bukan tanpa alasan, namun memang sangat sulit untuk pulang ke ibu pertiwi untuk saat ini. Keadaan yang tidak memungkinkan untuk kembali terus menghantui isi dalam hati. Dan tanpa sadar fenomena alam yang sudah tidak asing lagi di Negeri Paman Sam ini mulai menghujaninya seolah menutupi semua rasa pekat yang ada.
“Salju,” ucapnya sembari menghela nafas dan membawa segelas air putihnya masuk ke dalam rumah. Tidak, ini bukan rumahnya, melainkan tempat yang selama ini menjadi saksi bisu tentang kerinduannya terhadap sang kekasih.
Nay, begitulah panggilannya, perempuan berusia 25 tahun ini sudah lima tahun lamanya tinggal di negeri orang yang tanpa sadar ia selalu menyebut nya sebagai rumah. Padahal, rumahnya masih tetap sama. Ditujukkan kepada satu orang yang bejarak lebih dari 14.000 km dari bangunan yang ia tinggali saat ini. Dia adalah Abi, seseorang yang berhasil menembus benteng pertahanan hatinya sejak dirinya duduk dibangku sekolah.