Nay terbangun karena sayup-sayup mendengar suara Paman Foster yang sedang memotong kayu menggunakan kapaknya ditemani dengan alunan musik klasik karya Bon Jovi diputar di radio kecil kesayangannya. Ya, Paman Foster adalah orang yang menjadi tetangganya selama lima tahun Nay hidup di Amerika. Kedekatan mereka sudah layaknya seorang anak perempuan kepada ayahnya. Dengan mata yang masih setengah terbuka dia pun beranjak bangun dan segera berkemas untuk pergi ke tempat kerjanya. Nay bekerja disebuah laboratorium biologis negara tepat setelah Nay berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya.
“Tin...tin...tin...,” suara klakson dodge charger milik teman kerjanya bernama Rendra. Dia selalu datang untuk menjemput Nay. Seorang laki-laki yang juga teman Abi ini mendapatkan pekerjaan ditempat yang sama dengannya. Kini, Rendra pun menjadi sahabatnya selama ia hidup di Negeri Paman Sam ini.
“Selamat pagi Kanaya. Nay jika dilihat-lihat kamu memang cocok sekali dengan Abi. Dia tampan dan kamu juga cantik,” puji Rendra sembari membukakan pintu mobilnya untuk Nay.
“Paman Foster, have a great day!!!,” teriak Nay yang selalu menyapa tetangganya itu ketika mobil yang dikendarai mereka melintasi jalan depan rumah Paman Foster. Terlihat bibir tua Foster melengkung menandakan apresiasinya terhadap sapaan kecil yang diberikan oleh Nay. Jarak antara tempat kerja dan rumahnya sebetulnya dekat. Tetapi, Abi berpesan kepada Rendra lima tahun lalu agar Rendra selalu menjaga Nay dan menemani nya.
Terpisahnya Nay dan Abi oleh jarak pada awalnya disebabkan dengan kejadian lima tahun yang lalu. Pada saat itu Nay masih duduk dibangku sekolah menengah dan dia sangat ingin merasakan rasanya menempuh pendidikan di negeri orang, namun antara yakin dan tidak yakin karena pengetahuannya tentang dunia luar masih sangatlah terbatas.
Lima tahun yang lalu... “Pengumuman pengumuman, kepada seluruh murid agar memasuki ruangan,” suara dari toa yang sudah pasti beliau ini adalah kepala sekolah Nay.
Hari itu adalah hari yang sangat menentukan masa depan Nay. Dimana murid-murid yang bertekat untuk memperbaiki garis kehidupan perekonomian keluarganya telah mendaftarkan diri sebagai mahasiswa diluar negeri tepatnya di Amerika. Mereka semua sangat ingin mendapatkan beasiswa kuliah di Amerika tesebut. Hal yang membuat sulit untuk mengenyam pendidikan di negara asing adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang belum cukup memadai. Tetapi hari inilah jawaban akan segera diketahui. Sampailah Nay, Abi dan teman-teman Abi termasuk Rendra memasuki ruangan bersama murid-murid yang lain. Lalu kepala sekolah pun membacakan hasilnya.
“.... dengan menimbang dan memilih maka yang terpilih ialah Ayu, Damar, Rendra dan Nay,” ucap sang kepala sekolah. Nay bingung, entah harus bahagia atau bersedih karena Abi tidak terpilih dan itu artinya ia harus pergi tanpanya. Lantas iapun keluar dari ruangan itu, memisahkan diri yang sudah pasti setelahnya Abi bisa menemukannya.
“Nay, selamat,” ucap Abi sembari mangajak Nay berjabat tangan.
“Selamat katamu? Celaka Abi, celaka! Kamu tidak bisa ikut denganku, lantas bagaimana aku bisa menjalani semua ini sendiri?,” kata Nay penuh emosi dan menangis.
“Nay, lihat aku. Tuhan tidak tidur dan aku yakin ini adalah bagian dari rencana terbaik-Nya. Lagi pula sahabatku juga terpilih, Rendra. Dia akan menemanimu selama kamu disana, jadi jangan risau, aku akan tetap menjadi Abi mu untuk sekarang, empat tahun lagi dan selamanya,” ucap Abi menenangkan Nay sambil memeluknya. Nay terisak dalam tangis.